Rabu, 03 Juli 2013

PENGHAMBAT MEMBACA CEPAT

Penghambat Membaca Cepat dan Mengatasinya

Orang yang tidak mendapat bimbingan, latihan khusus membaca cepat, sering mudah lelah dalam membaca karena lamban dalam membaca, tidak ada gairah, merasa bosan, tidak tahan membaca buku, dan terlalu lama untuk bisa menyelesaikan buku yang tipis sekalipun.
Membaca dengan bersuara (vokalisasi), menggerakkan bibir, menunjuk kata demi kata dengan jari, dan menggerakkan kepala dari  kiri ke kanan, seperti dilakukan semasa kanakkanak, merupakan kebiasaan yang menghambat.  Dengan menggerakkan bibir ataupun bersuara (mengucapkan kata demi kata), kecepatan menjadi amat berkurang, yaitu hanya seperempat jika kita membaca secara diam. Kecepatan berkurang karena daripada menangkap ide yang terkandung dalam tulisan itu, orang lebih memerhatikan pada pengucapannya. Orang pun cepat lelah karena kegiatan lebih tertumpu pada aktivitas otot, begitu pula menggerakkan kepala dan menunjuk dengan tangan, juga menghambat. Hal ini disebabkan gerakan mata serta proses di otak jauh lebih cepat daripada gerakan kepala ataupun tangan itu.
Kebiasaan yang melibatkan fi sik itu mudah diatasi dan dalam tempo dua minggu kebiasaan itu akan hilang, asalkan kita mau mempraktikkan cara-cara penanggulangannya. Hambatan lain yang sulit diatasi adalah regresi atau mengulangi beberapa kata ke belakang dan subvokalisasi atau melafalkan kata dalam hati.

Vokalisasi
Vokalisasi atau membaca dengan bersuara sangat memperlambat membaca karena itu berarti mengucapkan kata demi kata dengan lengkap. Menggumam, sekalipun dengan mulut terkatup dan suara tidak terdengar, jelas termasuk membaca bersuara.
Untuk mengetahui apakah kita mengucapkan kata-kata itu atau tidak, letakkan tangan di leher sementara membaca. Bila getaran terasa dijakun (gulu menjing), itu berarti Anda membaca bersuara. Untuk menghilangkan kebiasaan itu, tiuplah (bibir seperti bersiul) sementara membaca dan letakkan tangan di leher (tidak boleh terasa getaran)

Gerakan Bibir
Orang dewasa ada yang meneruskan kebiasaan di waktu kecil, yaitu mengucapkan kata demi kata apa yang dibaca dengan menggerakkan bibir. Menggerakkan bibir atau komat-kamit sewaktu membaca, sekalipun tidak mengeluarkan suara, sama lambatnya dengan membaca bersuara. Kecepatan membaca bersuara ataupun dengan gerakan bibir hanya seperempat dari kecepatan membaca secara diam. Dengan menggerakkan bibir kita lebih sering regresi (kembali ke belakang)
sebab ketika mata dapat dengan cepat bergerak maju, suara kita masih di belakang. Untuk menghilangkan kebiasaan membaca dengan gerakan bibir, pilihlah yang cocok cara-cara di bawah ini.
1. Rapatkan bibir kuat-kuat, tekanlah lidah ke langit-langit mulut.
2. Mengunyah permen karet.
3. Ambil pensil atau sesuatu yang cukup ringan, lalu jepit dengan kedua bibir (bukan   gigi); usahakan pensil itu tidak bergerak.
4. Ucapkan berulang-ulang, ”satu, dua, tiga” atau ”tu, wa, ga”.
5. Bibir dalam posisi bersiul, tetapi tanpa suara.
Gerakan Kepala
Semasa kanak-kanak penglihatan kita memang masih sulit menguasai seluruh penampang bacaan. Akibatnya adalah bahwa kita menggerakkan kepala dari kiri ke kanan untuk dapat membaca baris-baris bacaan secara lengkap. Setelah dewasa, penglihatan kita telah mampu secara optimal sehingga seharusnya cukup mata saja yang bergerak.
Perhatikan gelas yang ada di meja kerja Anda. Pada saat itu ternyata Anda dapat sekali gus melihat pensil, mesin tik, buku, dan benda-benda lain. Kemampuan melihat sekitar titik pandang itu disebut medan penglihatan (periphe ral vision).
Sama halnya terhadap tulisan, kata-kata di kiri kanan titik pandang (fokus) dapat dikenali sekalipun pembaca tidak terfokus pada setiap kata itu. Dan bila Anda hendak memerhatikan pensil yang ada di ujung meja itu, Anda tak perlu menggerakkan kepala. Hanya dengan menggerakkan mata, Anda dapat memfokuskan pandangan.
Sama halnya untuk tulisan, Anda tidak perlu menggerakkan kepala. Akan tetapi, karena kebiasaan itu dari kecil saja, sebagian kita masih menggerakkan kepala. Cara membaca seperti itu lebih cepat dan lebih mudah dilakukan daripada menggerakkan kepala. Untuk menghilangkan kebiasaan itu, lakukanlah salah satu cara ini.
1.    Letakkan telunjuk jari ke pipi dan sandarkan siku tangan ke meja selama membaca. Apabila terasa tangan terdesak oleh gerakan kepala itu, sadarlah dan hentikan gerakan itu.
2.    Tangan memegang dagu seperti memegang-megang jenggot dan bila kepala bergerak, Anda akan tersadar lalu hentikan gerakan itu.
3.    Letakkan ujung telunjuk jari di hidung, maka bila kepala bergerak, Anda akan menyadarinya dan berusahalah untuk menghentikannya.
.........................................................................
Sumber: Soedarso. 2005. Speed Reading, Sistem Membaca
Cepat dan Efektif. Jakarta: Gramedia, hlm. 5 – 6

Setelah membaca teks tersebut, bacalah daftar indeks berikut.
Indeks
Gerakan
             bibir, 5
             kepala, 6
Medan penglihatan, 6
Regresi, 5
Vokalisasi, 5

Jelaskan kembali secara lisan penjelasan tentang istilah-istilah tersebut sesuai teks yang sudah kamu baca!



CIRI-CIRI AKHLAK DALAM ISLAM

AKHLAK
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang masalah
Kesyumulan akhlak Islam ialah ia tidak berpisah dengan semua bidang-bidangkehidupan manusia. Ia menetapkan satu neraca terhadap seluruh tindak tanduk manusia. Akhlak Islam tidak mengakui sebarang pemecahan di dalam menetapkan penilaian ini.Asas keimanan kepada Allah adalah sendi-sendi aqidah Islam, manakala asa akhlak yang terbina di sekitar usaha dan amal untuk memenuhi segala tuntutan yangterkandung dalam sendi-sendi tersebut. Jelas di sini bahawa binaan akhlak yang muliasebenarnya hanya dapat tegak di atas aqidah yang sahih dan syumul. Sedangkansesuatu perbuatan yang pada zahirnya dianggap sebagai akhlak yang mulia tidak dapatteguh dan kekal sekiranya tidak ditegakkan di atas asas aqidah.Besarnya kedudukan akhlak Islam hinggakan hadits-hadits Rasulullah sallallahualaihi wasallam merumuskan kedudukan akhlak sebagai berikut:
“Sesunguhnya aku dibangkitkan untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.Wahai Rasulullah sallallahu alaihi wasallam apakah budi pekerti itu? Baginda menjawab: Akhlak yang baik. Sesungguhnya orang yang paling baik akhlaknya ialah yang paling baik budi pekertinya”.
B.      Rumusan masalah
Dari latar blakang diatas maka timbul beberapa masalah yang akan kami dibahas dalam makalah ini yaitu:
1.       Pengertian dan dasar hukum akhlak
2.       Cirri-ciri akhlak islamiyah
3.       Pembentukan akhlak dalam islam




C.      Tujuan masalah
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan sebelumnya, maka tujuan penulisan  makalah kami yaitu disampinng dapat membahas poin- poin masalah yg terdapat di rumusan masalah tersebut penulis juga berharap semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan bagi siapa saja yang membaca makalah ini.
























                             CIRI-CIRI AKHLAK DALAM ISLAM

A.    Pengertian dan Dasar Hukum Akhlak
Kata akhlak berasal dari bahasa arab yaitu “khuluq” jamaknya “khuluqun” menurut bahasa diartikan budi pekrti, perangai,tingkah laku,atau tabiat. Kata akhlak lebh luas artinya pada moral atau etikayang sering dipakai dalam bahasa indinesia sebab akhlak meliputi segi-segi kejuwaan dari tingkah laku dan lahiriyah dan batinia seorang.
Adapun dasar hukum akhlak terdapat dalam surah al-Ahzab(33):21 yang artinya:
“ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
B.     Ciri-Ciri Akhlak Islamiyah
Adapun ciri-ciri akhlak Islamiyyah ialah:
1.      Bersifat mutlak dan menyeluruh:
Akhlak Islamiyyah bersifat mutlak, tidak bolehdipinda atau diubahsuai, dikenakan kepada seluruh individu tanpa mengiraketurunan, warna kulit, pangkat, tempat, dan masa.
2.      Melengkapkan dan menyempurnakan tuntutan:
Ditinjau dari sudut kejadianmanusia yang dibekalkan dengan pelbagai naluri, akhlak Islamiyyah adalahmerangkumi semuaaspek kemanusiaan rohaniyyah, jasmaniyyah danaqliyyah,sesuai dengan semua tuntutan naluri dalam usaha mengawal sifat-sifat yangtercela (sifat-sifat mazmumah) untuk kesempurnaan insan, bukan untuk mengawalkebebasan peribadi seseorang.3.

3.      Bersifat sederhana dan seimbang:
tuntutan akhlak dalam Islam adalah sederhana,tidak membebankan sehingga menjadi pasif dan tidak pula membiarkan sehinggamenimbulkan bahaya dan kerosakan.
4.      Mencakupi suruhan dan larangan:
Bagi kebaikan manusia, perlaksanakanakhlak Islamiyyah meliputi suruhan dan larangan dengan tidak bolehmengutamakan atau mengabaikan mana-mana aspek tersebut.
5.      Bersih dalam perlaksanaan:
Untuk mencapai kebaikan, akhlak Islmaiyyahmemerintah supaya cara dan metod perlaksanaan sesuatu perbuatan dan tindakanitu hendaklah dengan cara yang baik dan saluran yang benar yang telah ditetapkanoleh akhlak Islamiyyah. Ertinya untuk mencapai suatu matlamat, cara perlaksanaannya mestilah bersih menurut tata cara Islam.
6.      Matlamat tidak menghalalkan cara Keseimbangan:
Akhlak dalam Islam membawa kesinambungan bagi tuntutanrealiti hidup antara rohaniyyah dan jasmaniyyah serta aqliyyah, dan antarakehidupan dunia dan akhirat sesuai dengan tabii manusia itu sendiri.
C.    Pembentukan Akhlak Menurut Islam
Akhlak dapat dibentuk dengan baik sekiranya kita benar-benar mengikut lunas-lunasyang telah disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Akhlak yang dibentuk berasaskankesedaran dan hidayah dari Allah yang mampu dimiliki oleh setiap manusia yangmahu digelar hambaNya.Antara jalan terbaik untuk membentuk akhlak yang mulia ialah:
1.      Ilmu pengetahuanSetiap mukmin perlu mempelajari apakah akhlak yang terpuji (akhlak mahmudah)dan apakah akhlak yang dikeji (akhlak mazmumah). Al-Quran telah menggariskanakhlak yang utama yang mesti dihayati oleh setiap orang mukmin. Sennah Rasulullahsallallahu alaihi wasallam pula telah memperincikan serta telah menterjemahkannyake dalam reality kehidupan sebenar.
2.      Menyedari kepentingan akhlak yang diamalkanAkhlak adalah cermin bagi individu Muslim itu sendiri, malah daya tarikan Islam juga bergantung kepada akhlak yang mulia
3.      Keazaman yang tinggiMelalui keazaman yang kuat sahaja jiwa dapat diperkukuhkan untuk benar-benar menghayati sifat yang mulia
4.      Ibadah yang kuat dan ikhlasKetekunan dan keikhlasan melakukan ibadah mampu menangkis seranganmazmumah terutamanya bisikan hawa nafsu.
5.      Bergaul dengan orang yang baik akhlak 
6.      Pergaulan boleh mempengaruhi diri untuk berubah. Ini adalah kerana manusia cepatmeniru orang lain. Dalam masa yang sama menjauhi orang-orang yang melakukanmaksiat dalam erti kata uzlah syuuriyah (pengasingan jiwa) yang mana kita tetapmeneruskan usaha untuk membawa mereka kembali ke jalan yang benar.
7.      Membiasakan diri dengan kebaikanMenggantikan akhlak mazmumah dengan akhlak mahmudah serta senantiasamembiasakan diri dengannya agar ia tetap kekal di dalam jiwa.
8.      Sentiasa berlapang dada untuk menerima nasihatKadang-kala seseorang itu tidak menyedari kekurangan dan kelemahan yang ada padadiri sendiri. Oleh itu ia perlu berlapang dada dan menerima nasihat-nasihat yang bertujuan untuk membaiki dirinya.Umar Ibn Al-Khattab pernah berkata: Mudah-mudahan Allah memberikan hidayahkepada orang-orang yang menunjukkan kekurangan-kekuranganku




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Adapun ciri-ciri akhlak Islamiyyah ialah:
1.      Bersifat mutlak dan menyeluruh:
Akhlak Islamiyyah bersifat mutlak, tidak bolehdipinda atau diubahsuai, dikenakan kepada seluruh individu tanpa mengiraketurunan, warna kulit, pangkat, tempat, dan masa.
2.      Melengkapkan dan menyempurnakan tuntutan:
Ditinjau dari sudut kejadianmanusia yang dibekalkan dengan pelbagai naluri, akhlak Islamiyyah adalahmerangkumi semuaaspek kemanusiaan rohaniyyah, jasmaniyyah danaqliyyah,sesuai dengan semua tuntutan naluri dalam usaha mengawal sifat-sifat yangtercela (sifat-sifat mazmumah) untuk kesempurnaan insan, bukan untuk mengawalkebebasan peribadi seseorang.
3.      Bersifat sederhana dan seimbang:
tuntutan akhlak dalam Islam adalah sederhana,tidak membebankan sehingga menjadi pasif dan tidak pula membiarkan sehinggamenimbulkan bahaya dan kerosakan.
4.      Mencakupi suruhan dan larangan:
Bagi kebaikan manusia, perlaksanakanakhlak Islamiyyah meliputi suruhan dan larangan dengan tidak bolehmengutamakan atau mengabaikan mana-mana aspek tersebut.
5.      Bersih dalam perlaksanaan:
Untuk mencapai kebaikan, akhlak Islmaiyyahmemerintah supaya cara dan metod perlaksanaan sesuatu perbuatan dan tindakanitu hendaklah dengan cara yang baik dan saluran yang benar yang telah ditetapkanoleh akhlak Islamiyyah. Ertinya untuk mencapai suatu matlamat, cara perlaksanaannya mestilah bersih menurut tata cara Islam.


6.      Matlamat tidak menghalalkan cara Keseimbangan:
Akhlak dalam Islam membawa kesinambungan bagi tuntutanrealiti hidup antara rohaniyyah dan jasmaniyyah serta aqliyyah, dan antarakehidupan dunia dan akhirat sesuai dengan tabii manusia itu sendiri.
B.     Saran
penulis menyarankan kepada para pembaca untuk mempelajari lebih lanjut akan materi masa disintegrasi dinasti bani Abbasyiyah melalui referensi-referensi lain oleh karena makalah yang kami tulis ini masih sangat jauh dari kesempurnaan.Untuk itu penulis mengharapkan saran-saran yang sifatnya membangun untuk menunjang kesempurnaan makalah ini dan penulisan makalah pada waktu yang akan datang.



TAUKID DAN BADAL

JAGALAH LIDAHMU

JAGALAH LIDAHMU
"Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman." (Matius 12:36)Setiap kata sia-sia, apa sajakah itu? Sejak jaman dahulu, orang-orang bijak sadar bahwa lidah sangat berbahaya. Kalau kita melihat Amsal, ada banyak nasehat mengenai hal menjaga lidah ini.  
Mulut orang benar mengeluarkan hikmat, tetapi lidah bercabang akan dikerat (Amsal 10:31)
Ada orang yang lancang mulutnya seperti tikaman pedang, tetapi lidah orang bijak mendatangkan kesembuhan. (Amsal 12:18)
Bibir yang mengatakan kebenaran tetap untuk selama-lamanya, tetapi lidah dusta hanya untuk sekejap mata. (Amsal 12:19)
Orang yang dusta bibirnya adalah kekejian bagi TUHAN, tetapi orang yang berlaku setia dikenan-Nya. (Amsal 12:22)
Lidah orang bijak mengeluarkan pengetahuan, tetapi mulut orang bebal mencurahkan kebodohan. (Amsal 15:2)
Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya. (Amsal 18:21)
Jagalah lidahmu terhadap yang jahat dan bibirmu terhadap ucapan-ucapan yang menipu; (Mazmur 34:13)
Kata-kata dusta bukan hanya pada saat seseorang berbohong, tapi dapat terjadi pada saat ia membicarakan tentang sesuatu atau seseorang yang kebenarannya tidak diketahui dengan pasti. bahasa populernya adalah: gosip. ya, tanpa sadar banyak orang suka bergosip. saat berkumpul bersama teman-teman, mengobrol, tanpa sadar banyak pembicaraan mengenai orang lain. si A begini, si B begitu, dan seterusnya. Jika informasi itu tidak benar, maka dapat dikategorikan sebagai dusta dan bahkan fitnah. dan berapa sering Anda turut memberi informasi yang sebenarnya anda tidak tahu pasti?
"Juga tentang mereka Henokh, keturunan ketujuh dari Adam, telah bernubuat, katanya: "Sesungguhnya Tuhan datang dengan beribu-ribu orang kudus-Nya, hendak menghakimi semua orang dan menjatuhkan hukuman atas orang-orang fasik karena semua perbuatan fasik, yang mereka lakukan dan karena semua kata-kata nista, yang diucapkan orang-orang berdosa yang fasik itu terhadap Tuhan." Mereka itu orang-orang yang menggerutu dan mengeluh tentang nasibnya, hidup menuruti hawa nafsunya, tetapi mulut mereka mengeluarkan perkataan-perkataan yang bukan-bukan dan mereka menjilat orang untuk mendapat keuntungan" (Yudas 1:14-16)
Menggerutu dan mengeluh tentang nasib ternyata masuk kategori orang fasik. Kita memang tidak seharusnya menggerutu karena kasih karunia yang telah kita terima sudah melebihi yang pantas kita terima. Kita diangkat jadi Anak Allah lho, Allah yang menciptakan langit dan bumi, yang menyerahkan Putera Tunggalnya untuk menebus dosa kita supaya kita dikuduskan dan dapat hidup kekal di Surga. Jika sudah diberi yang terbaik masih menggerutu, lantas mau apa lagi?
"Hindarilah omongan yang kosong dan yang tidak suci dan pertentangan-pertentangan yang berasal dari apa yang disebut pengetahuan, karena ada beberapa orang yang mengajarkannya dan dengan demikian telah menyimpang dari iman." (1 Timotius 6:20-21)
Omongan kosong adalah kata sia-sia yang tidak berguna, bukan cuma perkataan yang jahat atau menipu atau umpatan atau dusta atau tidak bijaksana, tapi setiap kata yang tidak membangun sesama, setiap kata yang tidak berkenan kepada-Nya, setiap kata yang kita ucapkan tanpa dipikir, atau asal-asalan. Mengajarkan Firman Tuhan dengan tidak benar, itu juga sangat berbahaya.
Saudara terkasih, sejujurnya berapa sering Anda menggerutu, mengeluh atau bahkan mengumpat pada sesama? berapa sering Anda terpancing membicarakan perihal orang lain dan memberi komentar yang tidak berguna? "dia memang orangnya begitu", "sifat dasarnya memang jelek", "biar tahu rasa dia sekarang" dan seterusnya. Seringkali saat kita berbincang dengan teman tanpa sadar kita masuk ke dalam arus pembicaraan mereka, tanpa sadar, sering kita memberikan komentar yang asal cuap dan tidak berguna. Kita mungkin menganggap itu biasa, tapi ingatlah, Saudara, jika kata-kata yang Anda sampaikan tidak membuat lawan bicara Anda memperoleh sesuatu yang lebih baik, maka kata-kata Anda masuk kategori sia-sia. berusahalah bijak saat diminta untuk mengomentari seseorang, bila Anda tidak tahu yang sebenarnya, sebaiknya Anda tidak memberi komentar. Jangan asal bicara.   
"Di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi siapa yang menahan bibirnya, berakal budi." (Amsal 10:19)
Paling aman memang diam. pepatah kuno mengatakan bicara adalah perak tetapi diam adalah emas. belajar untuk diam adalah langkah awal yang baik.
"Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah;" (Yakobus 1:19)
 

Berpikirlah setiap kali Anda hendak bicara. pikirkanlah apakah kata-kata yang Anda ucapkan ada gunanya bagi orang lain? berguna untuk membangun, berguna untuk menghibur, berguna untuk memberi semangat, berguna untuk menguatkan iman, berguna untuk memberikan pengharapan, berguna untuk menyatakan kebenaran, berguna untuk mendamaikan, berguna bagi kemuliaan Allah? Jika Anda tidak yakin kata-kata Anda berguna, mungkin lebih baik Anda diam dulu.
"Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya." (Yakobus 1:26)
Betapa berbahayanya lidah kita Saudara! sayang bukan bila ibadah kita menjadi sia-sia hanya karena kita tidak bisa mengekang lidah. Bagi orang yang pendiam, mungkin tidak ada masalah, namun bagi orang yang suka ngobrol, bersikap diam bisa menjadi kesulitan tersendiri, lagipula tidak selamanya kita hanya diam. Ada saatnya kita harus bicara.  
Diam adalah langkah awal yang paling aman, karena selanjutnya setelah Anda mampu mengekang lidah dengan baik, Anda harus menyuarakan iman Anda, menyuarakan hukum cinta kasih dalam setiap kata-kata Anda. Jika Anda selama ini adalah orang yang suka ngobrol kesana kemari tanpa arah pembicaraan yang jelas, bukan hal yang mudah untuk mengubah diri, tapi Anda harus berusaha untuk berubah jika Anda memang mau sungguh-sungguh menjadi anak Allah. Seringlah membaca firman-Nya dan berdoalah agar Tuhan memberikan Anda lidah seorang murid yang senantiasa mewartakan kebenaran dan kasih, yang senantiasa mewartakan isi hati Tuhan.
 
"Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang" (Kolose 4:6)
"Tuhan ALLAH telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu. Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid." (Yesaya 50:4)
Jika setiap kata yang Anda ucapkan berkenan kepada-Nya maka sungguh berbahagialah Anda. mintalah anugerah itu Saudara. jadilah gema-Nya di dunia ini. tinggalkan semua perkataan sia-sia yang hanya membuat ibadah Anda menjadi percuma. Ingat, setiap kata sia-sia yang Anda ucapkan harus dipertanggungjawabkan pada hari penghakiman nanti.


PERANAN GURU DAALAM MENGAJAR


PERANAN GURU DALAM BELAJAR MENGAJAR
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peran guru sangatlah dibutuhkan untuk mendukung terciptanya suasana belajar mengajar yang menyenangkan aktif dan memungkinkan anak berprestasi secara maksimal. Sedangkan tingkat partisiasi yang dimaksud adalah keterlibatan siswa dalam menyikapi,memahami,mencerna materi yang disajikan dalam proses belajar. Bagaimanpun baiknya sarana pendidikan apabila guru tidak melaksanakan tugasnya dengan baik maka hasil pembelajaran tidak akan memberikan hasil yang memuaskan
          Menurut Masjumi (2008:74) peranan dan tugas guru seharusnya dipilih dan ditetapkan sebelum pelaksanaan proses belajar mengajar. Oleh karena itu guru harus memahami betul peranannya dalam proses belajar mengajar yang bersifat majemuk, artinya peran guru tidak hanya satu tetapi lebih dari satu
Guru sebagai pemimpin akan tampak nyata dalam proses belajar mengajar. Agar perilaku guru ini berpengaruh baik terhadap proses belajar siswa-siswanya maka guru dituntut untuk memahamidan mengayati gaya-gaya atau teori-teori dasar kepemimpinan karena dengan hal demikian melalui cara, metode, gaya dalam memimpin tipe kepribadiannya akan nampak . harsono (1988:35) mengatakan bahwa : Ada bermacam-macam gaya kepemimpinan yaitu gaya otoriter, demokratis, gaya yang menekankanpemenuhan kebutuhan pribadi.
Keberadaan guru didepan sebagai pemimpin bukan saja penting secara ideal tetapi juga secara fisik amat menentukan
B. Permaslahan
          1. Apakah perannan guru dalam proses pembelajaran siswa?
          2. Bagaiman guru berperan dalam proses pembelajaran siswa?
          3. Mengapa guru dikatakan sebagai ujung tombak prosespembelajaran? 
C. Tujuan penulisan
          1. Untuk mengetahui peranan guru dalamprses pembelajaran siswa
          2. Untuk mengetahui bagaimana guru memegang peranan proses   pembelajaran siswa
          3. Untuk mengetahui fungsi guru sebagai ujung tombak proses pembelajaran siswa
D. Manfaat Penulisan
1. Sebagai sumbangan informasi yang dijadikan pegangan bagi guru dalam upaya meningkatkan prestasi belajar
2. Sebagai bahan perbandingan untuk dijadikan permasalahan seminar, diskusi guna meningkatkan pembelajaran
3. Sebagai bahan masukan dalam pelaksanaan pengajara disekolah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Guru dan belajar – Mengajar
          Guru dewasa ini berkembang sesuai dengan fungsinya, membina untuk mencapai tujuan pendidikan. Lebih-lebih dalam sistem sekolah sekarang ini, masalah pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan tenaga pengajar perlu mendapat perhatian yang serius. Bagaimanapun baiknya kurikulum, administrasi, dan fasilitas perlengkapan, kalau tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas guru-gurunya tidak akan membawa hasil yang diharapkan. Oleh karena itu, peningkatan mutu tenaga-tenaga pengajar untuk membina tenaga-tenaga guru yang profesional adalah unsur yang penting bagi pembaruan dunia pendidikan.
1. Guru sebagai pengajar
          Salah satu tugas yang harus dilaksanakan oleh guru di sekolah adalah memberikan pelayanan kepada para siswa agar mereka menjadi siswa atau anak didik yang selaras dengan tujuan sekolah. Melalui bidang pendidikan, guru mempengaruhi aspek kehidupan, baik sosial, budaya maupun ekonomi. Dalam keseluruhan proses pendidikan, guru merupakan faktor utama yang bertugas sebagai pendidik. Guru memegang berbagai jenis peranan yang mau tidak mau harus dilaksanakannya sebagai guru.
          Yang dimaksud sebagai peran adalah pola tingkah laku tertentu yang merupakan ciri khas semua petugas dari pekerjaan atau jabatan tertentu. Guru harus bertanggungjawab atas hasil kegiatan belajar anak melalui interaksi belajar mengajar. Guru merupakan faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya proses belajar mengajar, dan karenanya guru harus menguasai prinsip-prinsip belajar disamping menguasai materi yang akan diajarkan. Dengan kata lain : guru harus mampu menciptakan situasi kondisi belajar yang sebaik-baiknya.
2. Guru sebagai pembimbing
          Bimbingan adalah proses pemberian bantuan terhadap individu untuk mencapai pemahaman dan pengarahan diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri secara maksimum terhadap sekolah, keluarga serta masyarakat.
Dalam keseluruhan proses pendidikan guru merupakan faktor utama. Dalam tugasnya sebagai pendidik, guru memegang berbagai jenis peran yang mau tidak mau harus dilaksanakan sebaik-baiknya. Setiap jabatan atau tugas tertentu akan menuntut pola tingkah laku tertentu pula. Sehubungan dengan peranannya sebagai pembimbing, seorang guru harus :
1. Mengumpulkan data tentang siswa
2. Mengamati tingkah laku siswa dalam situasi sehari-hari
3. Mengenal para siswa yang memerlukan bantuan khusus
4. Mengadakan pertemuan atau hubungan dengan orangtua siswa baik
5. Secara individu maupun secara kelompok untuk memperoleh saling pengertian tentang pendidikan anak
6. Bekerja sama dengan masyarakat dan lembaga lainnya untuk membantu memecahkan masalah siswa
7. Membuat catatan pribadi siswa serta menyiapkannya dengan baik
8. Menyelenggarakan bimbingan kelompok atau individu
9. Bekerja sama dengan petugas bimbingan lainnya untuk membantu memecahkan masalah siswa
10. Menyusun program bimbingan sekolah bersama-sama dengan petugas bimbingan lainnya
11. Meneliti kemajuan siswa baik di sekolah maupun di luar sekolah.
          Berdasarkan uraian di atas maka jelaslah bahwa peran guru baik sebagai pengajar maupun sebagai pembimbing pada hakekatnya saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain, kedua peran tersebut harus dilaksanakan secara berkesinambungan dan sekaligus merupakan keterpaduan.
B. Karaker guru berpengaruh terhadap masa depan siswa
          Kehadiran orangtua – ayah dan ibu- sangat besar artinya bagi anak. Melalui kehadiran dan interaksi dengan orangtua anak dapat mengenal indahnya dunia dan memahami suka- duka kehidupan ini. Melalui orangtua maka anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan bahasanya. Untuk selanjutnya melalui orangtua pula seorang anak dapat mengenal sosial atau mengenal orang lain.
Seiring dengan bertambahnya usia anak dan makin luasnya eksplorasi mereka, akhirnya (dalam usia kanak- kanak) setiap anak mengenal dunia sekolah dan sekaligus menjadsi anggota atau kelompok sosial di sekolah. Di sini mereka mengenal sosok figur atau orang lain yang bisa mereka kagumi, takuti, segani yang mereka panggil sebagai guru yang punya peran sebagai orang tua mereka di sekolah.
          Saat anak belum mengenal dunia sekolah, maka egosentris adalah ciri khas adalah karakter mereka. Apa saja yang ada di seputar jangkauan indera mereka diklaim sebagai miliknya atau dalam konsep kekuasaanya. Namun saat mereka sudah bersentuhan dengan dunia sekolah- seperti taman kanak- kanak- maka karaktere egosentris secara perlahan berkurang dan menghilang. Mereka akhirnya memahami dan mengenal realita sosial, harus bisa menerima posisi kalah atau menang, bertentangan atau berdamai.
          Guru lah orang tua bagi anak di sekolah, setelah keberadaan orang tua yang di rumah, yang sangat berpengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa dan kepribadian anak. Sangat beruntung bahwa semua guru taman kanak- kanak mendapat respon yang simpatik dari anak- anak akibat positif dari karakter atau prilaku guru yang ramah tamah dan sangat simpatik atau bersahabat. Karakter yang mereka miliki telah mampu untuk merebut hati anak makhluk- makhluk kecil itu- (anak didik mereka). Sehingga di rumah mereka selalu memuji dan menyanjung kelebihan ibu guru mereka.
          Memasuki usia Sekolah Dasar mereka harus berhadapan dengan berbagai macam karakter manusia- guru guru , teman dan senior senior mereka- yang lebih bervariasi. Ada yang baik, lembut, penyayang dan yang lebih menyeramkan adalah kalau ada karakter yang galak dan pemarah. Maka tidak heran kalau anak- anak kecil itu mengawali hidup mereka di Sekolah Dasar dengan penuh kecemasan dan ketegangan. Dan mereka masih beruntung bila guru-guru di SD (Sekolah Dasar) kelas satu masih memperlihatkan karakter yang simpatik dan ramah tamah menyerupai karakter guru- guru mereka saat masih di Taman Kanak- Kanak.  Namun mimpi buruk akan terjadi bagi anak- anak kecil tersebut apabila mereka harus belajar dan berintegrasi dengan guru- guru kelas satu atau kelas dua SD yang kurang bisa bersimpati dan berempati dan juga kurang ramah di mata anak didik. Maka di sini mulai terjadi kejutan mental yang pertama bagi mereka dalam bentuk ekspressi; menangis, menarik diri, ketakutan dan sampai mengalami ngompol dalam kelas.
          Bila kasus ini terjadi pada suatu kelas atau suatu SD , maka adalah sangat ideal bila bapak dan ibu guru segera mengintrospeksi diri agar mereka tidak tampil menakutkan di mata manusia berusial kecil tersebut.
Beruntung bahwa Tuhan menganugerahi manusia kemampuan untuk beradaptasi (menyesuaikan diri) dan berakomodasi (mengubah lingkungan) dengan social dan lingkungan fisik. Maka dengan kekuatan dan kemampuan untuk beradaptasi dan berakomodasi anak didik mampu untuk bertahan hidup dan berintegrasi dalam kehidupan sosial di sekolah.
          Guru adalah manusia biasa dan sebagai manusia biasa dalam melaksanakan peran sebagai pendidik dan sebagai pemimpin bagi anak didikdalam pelaksanaan PBM (Proses Belajar Mengajar) mereka memiliki gaya tersendiri. Secara umum ada tiga tipe kategori dari gaya mereka yaitu; gaya demokrasi, gaya otoriter, gaya laizzes faire dan gaya pseudo demokrasi.
Keberadaan guru dengan gaya atau karakter otoriter- memperlihatkan kekuasaan mutlak atas anak didik- selama pelaksanaan PBM dapat mendatangkan mimpi buruk bagi setiap anak didik. Senyum manis dan kata- kata yang lembut merupakan barang yang langka yang diperoleh dari guru berkarakter otoriter. Guru killer adalah istilah lain yang diberikan oleh anak didik untuk guru berkarakter otoriter tersebut.
          Sekali lagi bahwa belajar dengan guru yang berkarakter otoriter adalah suatu mimpi buruk bagi anak didik. Suasana kelas tentu saja akan menjadi tenang dan teratur. Gerak laju jarum jam dinding terasa begitu lambat dan lama. Atmosfir ruangan kelas menjadi lebih kaku dan menegangkan dan menakutkan. Guru berkarakter killer atau berkarakter otoriter akan berpotensi untuk melahirkan anak didik yang suka membisu dan penakut. Adalah suatu keputusan yang bijaksana bagi pribadi yang memiliki karakter otoriter untuk tidak menjadi pendidik dimanapun berada, apalagi mengajar untuk Sekolah Dasar, karena keberadaan mereka cendrung merugikan dan merusak pertumbuhan jiwa anak didik.
Pseudo demokrasi adalah berarti “demokrasi yang palsu”. Karakter guru dengan pseudo demokrasi agaknya juga tidak memperoleh simpati di mata anak didik. Soalnya guru dengan karakter begini cendrung memonopoli kekuasaan. Keputusan yang ia buat disosialisasikan kepada anak didik namun keputusan akhir tetap menjadi monopoli mutlaknya.
          Guru dengan karakter laissez faire- masa bodoh- cendrung menurunkan kualitas budaya sekolah. Suasana kelas akan menjadi amburadul, apalagi bila populasi kelas cukup besar. Peranan guru yang berkarakter lassez faire bisa agak bagus apa bila ia mengelola kelas yang berpopulasi kecil. Agaknya guru dengan karakter demikian perlu bersikap lebih tegas dan punya prinsip atas nilai kebenaran. Menambah kualitas ilmu dan wawasan dan kemudian bersikap lebih tegas akan mampu mengatasi problema karakter laizzes faire.
Guru yang berkarakter demokrasi adalah guru yang memiliki hati nurani yang tajam. Guru dengan karakter beginilah yang mampu menghadirkan hatinya dalam emosi anak didik selama pembelajaran. Guru berkarakter demokrasi dan memiliki wawasan yang tinggi tentu akan mampu memenangkan hati anak didik atau memoltivasi mereka dalam pembelajaran. Guru yang mampu menghadirkan hatinya pada hati anak didik disebut sebagai guru yabg baik dan mereka akan dikenang oleh anak didik sepanjang hayatnya. Yang lebih banyak dikenang adalah guru yang baik.
          Setiap anak didik telah banyak mengenal banyak guru dalam hidupnya, ada guru yang pintar dan ada guru yang baik. Sekali lagi bahwa guru yang berkesan bagi mereka adalah guru yang menghadirkan hati atau emosinya saat melaksanakan PBM. Guru yang cerdas atau pintar namun memiliki pribadi yang kaku, mungkin juga kasar, kurang bisa bersimpati, pasti tidak banyak memberi pengaruh kepada anak didik.
          Guru yang mampu memberi pengaruh untuk masa depan anak didik lewat kata- kata atau bahasanya adalah guru yang memiliki pribadi yang hangat dan juga cerdas. Untuk itu adalah sangat ideal bila setiap guru mampu meningkatkan kualitas pribadinya menjadi guru yang cerdas, yaitu cerdas intelektual, cerdas emosi dan juga cerdas spiritualnya. Maka guru- guru yang beginilah yang patut diberi hadiah dengan lagu “guru pahlawan tanpa tanda jasa”.
Kata kata yang diucapkan oleh guru kepada siswa atau anak didik dalam pergaulan mereka di sekolah sangat menentukan masa depan mereka. Kata kata yang diucapkan oleh guru pada anak didik ibarat panah yang lepas dari busur. Kata yang keluar dari mulut guru akan menancap pada hati anak didik. Bila kata- kata tadi melukai hati mereka, maka goresannya akan membekas sampai tua. Sering kata kata yang tidak simpatik dari seorang guru telah menghancurkan semangat hidup mereka. Sebaliknya kata kata yang mampu memberi dorongan semangat juga sangat berarti dalam menumbuh dan mengembangkan semangat hidup- semangat belajar dan bekerja mereka. Maka untuk itu guru perlu menjalin hubungan dengan anak didik lewat kata- kata yang berkualitas.
C. Guru yang profesional
          Pada era otonomi pendidikan, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang amat besar bagi penentuan kualitas guru yang diperlukan di daerahnya masing-masing. .Oleh karena itu di masa yang akan datang, daerah benar-benar harus memiliki pola rekrutmen dan pola pembinaan karier guru agar tercipta profesionalisme pendidikan di daerah. Dengan pola rekrutmen dan pembinaan karier guru yang baik, akan tercipta guru yang profesional dan efektif. Untuk kepentingan sekolah, memiliki guru yang profesional dan efektif merupakan kunci keberhasilan bagi proses belajar-mengajar di sekolah itu. Bahkan, John Goodlad, seorang tokoh pendidikan Amerika Serikat, pernah melakukan penelitian yang hasilnya menunjukkan bahwa peran guru amat signifikan bagi setiap keberhasilan proses pembelajaran. Penelitian itu kemudian dipublikasikan dengan titel: Behind the Classroom Doors, yang di dalamnya dijelaskan bahwa ketika para guru telah memasuki ruang kelas dan menutup pintu-pintu kelas itu, maka kualitas  pembelajaran akan lebih banyak ditentukan oleh guru. Hal ini sangat masuk akal, karena ketika proses pembelajaran berlangsung, guru dapat melakukan apa saja di kelas. Ia dapat tampil sebagai sosok yang menarik sehingga mampu menebarkan virus nAch (needs for achievement) atau motivasi berprestasi, jika kita meminjam terminologi dari teorinya McCleland. Di dalam kelas itu seorang guru juga dapat tampil sebagai sosok yang mampu membuat siswa berpikir divergent dengan memberikan berbagai pertanyaan yang jawabnya tidak sekedar terkait dengan fakta, ya-tidak. Seorang guru di kelas dapat merumuskan pertanyaan kepada siswa yang memerlukan jawaban secara kreatif, imajinatif – hipotetik, dan sintetik (thought provoking questions).
Sebaliknya, dengan otoritasnya di kelas yang begitu besar itu, bagi seorang guru juga tidak menutup kemungkinan untuk tampil sebagai sosok yang membosankan, instruktif, dan tidak mampu menjadi idola bagi siswa di kelas.
Bahkan dia juga bisa berkembang ke arah proses pembelajaran yang secara tidak sadar mematikan kreativitas, menumpulkan daya nalar, mengabaikan aspek afektif, dan dengan demikian dapat dimasukkan ke dalam kategori banking concept of education-nya Paulo Friere, atau learning to have-nya Eric From. Pendek kata, untuk melindungi kepentingan siswa, dan juga untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) di daerah dalam jangka panjang di masa depan, guru memang harus profesional dan efektif di kelasnya masing-masing ketika ia harus melakukan proses belajar-mengajar.
          Dalam konteks otonomi pendidikan, hasil penelitian John Goodlad tersebut memiliki implikasi bahwa pemerintah daerah perlu menciptakan sebuah sistem rekrutmen dan pembinaan karier guru agar para guru benar-benar memiliki profesionalisme dan efektivitas yang tinggi supaya ketika ia memasuki ruang kelas mampu menegakkan standar kualitas yang ideal bagi proses pembelajaran. Suatu pekerjaan dikatakan profesional jika pekerjaan itu memiliki kriteria tertentu. Jika kita mengikuti pendapat Houle, ciri-ciri suatu pekerjaan yang profesional meliputi: (1) harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat; (2) harus berdasarkan atas kompetensi individual (bukan atas dasar KKN-pen.); (3) memiliki sistem seleksi dan sertifikasi; (4) ada kerjasama dan kompetisi yang sehat antar sejawat; (5) adanya kesadaran profesional yang tinggi; (6) memiliki prinsip-prinsip etik (kode etik); (7) memiliki sistem sanksi profesi; (8) adanya militansi individual; dan (9) memiliki organisasi profesi. Dari ciri-ciri ini Kantor Dinas Pendidikan di daerah dapat menterjemahkan ke dalam sistem rekrutmen dan pembinaan karier guru agar profesi-onalisme guru dapat selalu ditingkatkan di daerahnya masing-masing. Tanpa berbuat seperti itu kualitas guru akan selalu ketinggalan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan kata lain, agar guru tetap profesional perlu ada sistem pembinaan karier yang baik, tersistem, dan berkelanjutan.
Guru yang profesional perlu melakukan pembelajaran di kelas secara efektif. Kemudian, bagaimana ciri-ciri guru yang efektif ? Menurut Gary A. Davis dan Margaret A. Thomas, paling tidak ada empat kelompok besar ciri-ciri guru yang efektif. Keempat kelompok itu terdiri dari:
          Pertama, memiliki kemampuan yang terkait dengan iklim belajar di kelas, yang kemudian dapat dirinci lagi menjadi (1) memiliki keterampilan interperso-nal, khususnya kemampuan untuk menunjukkan empati, penghargaan kepada siswa, dan ketulusan; (2) memiliki hubungan baik dengan siswa; (3) mampu menerima, mengakui, dan memperhatikan siswa secara tulus; (4) menunjukkan minat dan antusias yang tinggi dalam mengajar; (5) mampu menciptakan atmosfir untuk tumbuhnya kerja sama dan kohesivitas dalam dan antar kelompok siswa; (6) mampu melibatkan siswa dalam meng-organisasikan dan merencanakan kegiatan pembelajaran; (7) mampu mendengarkan siswa dan menghargai hak siswa untuk berbicara dalam setiap diskusi; (8) mampu meminimal-kan friksi-friksi di kelas jika ada.
          Kedua, kemampuan yang terkait dengan strategi manajemen pembelajaran, yang meliputi: (1) memiliki kemampuan untuk menghadapi dan menangani siswa yang tidak memiliki perhatian, suka menyela, mengalihkan pembicaraan, dan mampu memberikan transisi substansi bahan ajar dalam proses pembelajaran; (2) mampu bertanya atau memberikan tugas yang memerlukan tingkatan berpikir yang berbeda untuk semua siswa.
          Ketiga, memiliki kemampuan yang terkait dengan pemberian umpan balik (feedback) dan penguatan (reinforcement), yang terdiri dari: (1) mampu memberikan umpan balik yang positif terhadap respon siswa; (2) mampu memberikan respon yang bersifat membantu terhadap siswa yang lamban belajar; (3) mampu memberikan tindak lanjut terhadap jawaban siswa yang kurang memuaskan; (4) Mampu memberikan bantuan profesional kepada siswa jika diperlukan.
          Keempat, memiliki kemampuan yang terkait dengan peningkatan diri, terdiri dari: (1) mampu menerapkan kurikulum dan metode mengajar secara inovatif; (2) mampu mem-perluas dan menambah pengetahuan mengenai metode-metode pengajaran; (3) mampu memanfaatkan perencanaan guru secara kelompok untuk menciptakan dan mengembang-kan metode pengajaran yang relevan. (dikutip dari wesite ybs )
D. Ciri-ciri guru yang baik dan efektif
          John Goodlad, seorang tokoh pendidikan Amerika Serikat, pernah melakukan penelitian yang hasilnya menunjukkan bahwa peran guru amat signifikan bagi setiap keberhasilan proses pembelajaran.
Penelitian itu kemudian dipublikasikan dengan titel: Behind the Classroom Doors, yang di dalamnya dijelaskan bahwa ketika para guru telah memasuki ruang kelas dan menutup pintu-pintu kelas itu, maka kualitas pembelajaran akan lebih banyak ditentukan oleh guru. Hal ini sangat masuk akal, karena ketika proses pembelajaran berlangsung, guru dapat melakukan apa saja di kelas. Ia dapat tampil sebagai sosok yang menarik sehingga mampu menebarkan virus NAch (needs for achievement) atau motivasi berprestasi, jika kita meminjam terminologi dari teorinya McCleland. Di dalam kelas itu seorang guru juga dapat tampil sebagai sosok yang mampu membuat siswa berpikir divergent dengan memberikan berbagai pertanyaan yang jawabnya tidak sekedar terkait dengan fakta, ya-tidak. Seorang guru di kelas dapat merumuskan pertanyaan kepada siswa yang memerlukan jawaban secara kreatif, imajinatif – hipotetik, dan sintetik (thought provoking questions).
Sebaliknya, dengan otoritasnya di kelas yang begitu besar itu, bagi seorang guru juga tidak menutup kemungkinan untuk tampil sebagai sosok yang membosankan, instruktif, dan tidak mampu menjadi idola bagi siswa di kelas. Bahkan dia juga bisa berkembang ke arah proses pembelajaran yang secara tidak sadar mematikan kreativitas, menumpulkan daya nalar, mengabaikan aspek afektif, dan dengan demikian dapat dimasukkan ke dalam kategori banking concept of education-nya Paulo Friere, atau learning to have-nya Eric From. Pendek kata, untuk melindungi kepentingan siswa, dan juga untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) di daerah dalam jangka panjang di masa depan, guru memang harus profesional dan efektif di kelasnya masing-masing ketika ia harus melakukan proses belajar-mengajar.
          Menurut Gary A. Davis dan Margaret A. Thomas, paling tidak ada empat kelompok besar ciri-ciri guru yang efektif. Keempat kelompok itu terdiri dari:
Pertama, memiliki kemampuan yang terkait dengan iklim belajar di kelas, yang kemudian dapat dirinci lagi menjadi (1) memiliki keterampilan interperso-nal, khususnya kemampuan untuk menunjukkan empati, penghargaan kepada siswa, dan ketulusan; (2) memiliki hubungan baik dengan siswa; (3) mampu menerima, mengakui, dan memperhatikan siswa secara tulus; (4) menunjukkan minat dan antusias yang tinggi dalam mengajar; (5) mampu menciptakan atmosfir untuk tumbuhnya kerja sama dan kohesivitas dalam dan antar kelompok siswa; (6) mampu melibatkan siswa dalam meng-organisasikan dan merencanakan kegiatan pembelajaran; (7) mampu mendengarkan siswa dan menghargai hak siswa untuk berbicara dalam setiap diskusi; (8) mampu meminimal-kan friksi-friksi di kelas jika ada.
          Kedua, kemampuan yang terkait dengan strategi manajemen pembelajaran, yang meliputi: (1) memiliki kemampuan untuk menghadapi dan menangani siswa yang tidak memiliki perhatian, suka menyela, mengalihkan pembicaraan, dan mampu memberikan transisi substansi bahan ajar dalam proses pembelajaran; (2) mampu bertanya atau memberikan tugas yang memerlukan tingkatan berpikir yang berbeda untuk semua siswa.
          Ketiga, memiliki kemampuan yang terkait dengan pemberian umpan balik (feedback) dan penguatan (reinforcement), yang terdiri dari: (1) mampu memberikan umpan balik yang positif terhadap respon siswa; (2) mampu memberikan respon yang bersifat membantu terhadap siswa yang lamban belajar; (3) mampu memberikan tindak lanjut terhadap jawaban siswa yang kurang memuaskan; (4) Mampu memberikan bantuan profesional kepada siswa jika diperlukan.
Keempat, memiliki kemampuan yang terkait dengan peningkatan diri, terdiri dari: (1) mampu menerapkan kurikulum dan metode mengajar secara inovatif; (2) mampu mem-perluas dan menambah pengetahuan mengenai metode-metode pengajaran; (3) mampu memanfaatkan perencanaan guru secara kelompok untuk menciptakan dan mengembang-kan metode pengajaran yang relevan.
Menurut Brooks & Brooks (Iim Waliman, dkk. 2001) terdapat beberapa ciri yang menggambarkan seorangguru yang konstruktivis dalam melaksanakan proses pembelajaran siswa, yaitu:
1. Guru mendorong, menerima inisiatif dan kemandirian siswa.
2. Guru menggunakan data mentah sebagai sumber utama padaokus materi pembelajaran.
3. Guru memberikan tugas-tugas kepada siswa yang terarah pada pelatihan kemampuan mengklasifikasi, menganalisis, memprediksi, dan menciptakan.
4. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menguraikan isi pelajaran dan mengubah strategi belajar mengajar.
5. Guru melakukan penelusuran pemahaman siswa terhadap suatu konsep sebelum memulai pembelajaran.
6. Guru mendorong terjadinya dialog dengan dan antar siswa.
7. Guru mendorong siswa untuk berfikir, melalui pertanyaan-pertanyaan terbuka dan mendorong siswa untuk bertanya sesama teman.
8. Guru melakukan elaborasi respon siswa siswa, baik yang sudah benar maupun yang belum benar.
9. Guru melibatkan siswa pada pengalaman yang menimbulkan kontradiksi dengan hipotesis siswa dan mendiskusikannya.
10. Guru memberikan waktu berfikir yang cukup bagi siswa dalam menjawab pertanyaan
11. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencoba menghubungkan beberapa hal yang dipelajari untuk meningkatkan pemahaman.
E. Pola Progresif dalam Belajar Mengajar
Secara umum, proses pendidikan menuju pada tiga hal pokok yang harus mampu dicapai peserta didik, yaitu Afektif, Kognitif dan Psikomotorik. Afektif berkaitan dengan sikap, moral, etika, akhlak, dan manajemen emosi. Kognitif berkaitan dengan aspek pemikiran, transfer ilmu, logika, dan analisis. Sedangkan Psikomotorik berkaitan dengan praktik atau aplikasi apa yang sudah diperolehnya melalui jalur kognitif.
Namun disadari atau tidak, proses pendidikan di sekolah sekarang porsinya lebih pada aspek kognitif atau transfer of knowledge saja. Salah satu hal yang kadang dihadapi guru dalam pembelajaran adalah kurangnya minat dan motivasi peserta didik untuk belajar di kelas. Kadangkala peserta didik mempraktikkan “ 5 D “ yaitu Datang, Duduk, Dengar, Diam, dan bahkan mungkin Dengkur.
Peserta didik kadangkala merasa “terpaksa” datang dan menghabiskan waktunya di kelas. Apalagi apabila guru masih terbiasa untuk menjadikan peserta didiknya pendengar yang baik karena guru masih yakin bahwa satu-satunya cara untuk mengajar dengan cepat adalah dengan menggunakan metode ceramah. Pada kegiatan pembelajaran Biologi mencakup dimensi ganda, yaitu proses dan produk.
Dengan demikian, peserta didik dituntut untuk melakukan kegiatan dan melakukan intervensi logis sampai ditemukan konsep/aturan/prinsip IPA. Artinya, konsep IPA yang diketahui peserta didik tidak sekadar ingatan semata, akan tetapi konsepsi yang disertai alasan logis. Kesemua ini dilakukan dengan menggunakan perangkat yang lazim disekitar peserta didik, pengalaman dan alam sekitar melalui kegiatan/proses ilmiah.
Pada dasarnya hakikat belajar mengajar dengan pola yang lebih progresif berbeda dengan hakikat belajar-mengajar dengan pola tradisional. Pada pola tradisional kegiatan mengajar lebih sering diarahkan pada aliran informasi dari guru ke peserta didik. Pandangan ini mendorong guru untuk berperan sebagai tukang ajar, dimana diibaratkan guru sebagai orang yang mengisi air pada botol yang kosong.
Pada pola progresif makna belajar diartikan sebagai pembangunan gagasan/pengetahuan oleh peserta didik sendiri selain peningkatan keterampilan dan pengembangan sikap positif. Guru belum dikatakan mengajar kalau peserta didik belum belajar. Artinya, guru baru mengajar kalau konsep materi yang disajikan dapat menjadi bagian dari ‘struktur kognitif’ peserta didik.
Untuk mencapai tujuan ini, guru tidak cukup hanya berceramah dari menit pertama sampai menit terakhir kegiatan belajar mengajar. Akan tetapi peserta didik perlu dilibatkan secara aktif dalam kegiatan praktis dalam bentuk pengujian, percobaan atau penelitian sederhana.
Sikap mental atau reaksi peserta didik bila dilibatkan secara aktif dalam kegiatan praktis kadangkala tidak menyenangi model pembelajaran peserta didik yang aktif, kadang ada sikap seperti “menolak” yang diungkapkan lewat sikap acuh tak acuh bila diajak memecahkan masalah, peserta didik ingin agar diterangkan dengan runtut, kemudian peserta didik mencatat dan kadang peserta didik menganggap bahwa hanya dengan membaca saja mereka sudah dapat memahami pelajaran biologi semua berakibat guru mengalami kesulitan mengembangkan pengelolan kelas.
Di dalam kelas, guru semakin dituntut untuk mampu menciptakan suasana kelas yang kondusif sesuai semangat KTSP. Suasana kelas harus demokratis, tidak tegang, tetapi harus tetap tertib agar semua siswa bisa optimal dalam menyimak, berbicara, dan mengekspresikan dirinya.
Untuk menciptakan kondisi kelas yang kondusif dalam pembelajaran (masalah kognitif) seorang guru mesti mengerahkan semua potensi dirinya, dari segi intelektualitas harus semakin mampu menguasai materi pembelajaran, seorang guru juga mesti diharuskan meningkatkan masalah afektif peserta didik yang kadang lebih banyak menghabiskan waktu dan energi bahkan memerlukan kesabaran yang ekstra menghadapi peserta didik dengan berbagai latar belakang problematika hidupnya.
Pendidikan menjalin aspek kognitif dengan aspek afektif sedangkan kegiatan mengajar menjalin aspek kognitif dan psikomotor. Dalam praktek evaluasinya kegiatan pengajaran sering terbatas targetnya pada aspek kognitif.Maka pendidikan bukan hanya transfer of knowledge tetapi juga transfer of value. Sehingga perilaku guru sebagai pendidik yang perlu dikembangkan adalah sebagai mitra peserta didik, disiplin permisif, berdialog dengan pikiran kritis,melakukan dialektika budaya lama dengan nilai-nilai budaya modern, memberikan kesempatan kreatif, berproduksi, dan berperilaku sehari-hari yang positif terhadap peserta didik.
Setiap pendidikan bertujuan menunaikan nilai yang terbaik bagi peserta didik dan pendidik. Bahkan pengajaran yang baik sebagai bagian dari pendidikan selain memerlukan proses dan alasan rasional intelektual juga terjalin alasan yang bersifat moral.
F. Psikologi problematika belajar
PENGERTIAN PROBLEMA BELAJAR (Pembelajaran)
Belajar adalah mencari ilmu atau menuntut ilmu.
Menurut Walker dalam bukunya Conditioning an Instrumental Learning (1967): belajar : “Perubahan perbuatan sebagai akibat dari pengalaman”
Menurut C.T. Morgan, dalam Introduction to Psychology (1961: belajar adalah suatu perubahan yang relative menetap dalam tingkah laku sebagai akibat atau hasil dari pengalaman yang lalu”.
G. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BELAJAR
Dibedakan menjadi tiga macam, yakni :
1. Faktor Internal Siswa
Meliputi dua aspek, yakni :
1) Aspek Fisiologis (yang bersifat jasmaniah)
Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya, dapat mempengaruhi semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran.
2) Aspek psikologis (yang bersifat rohaniah)
Meliputi:
a) Tingkat kecerdasan/intelegensi siswa
Menurut (Reber, 1988) bahwa intelegensi diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat.
b) Sikap siswa
Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespons (response tendency) dengan cara yang relative tetap terhadap objek orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif.
c) Bakat siswa
Menurut (Chaplin, 1972; Reber, 1988) bahwa bakat (aptitude) adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang.
d) Minat siswa
Minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Menurut Reber (1988), minat tidak termasuk istilah popular dalam psikologi karena ketergantungannya yang banyak pada faktor-faktor internal lainnya, seperti pemusatan perhatian, keingintahuan, motivasi, dan kebutuhan.
e) Motivasi siswa.
f) Merupakan keadaan internal organisme baik manusia ataupun hewan yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu (pemasok daya).
Motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
(1) Motivasi intrinsik: Hal dan keadaan yang berasal dari dalam diri siswa sendiri yang mendorongnya untuk belajar.
(2) Motivasi ekstrinsik: Hal dan keadaan yang datang dari luar individu siswa yang juga mendorongnya untuk belajar.
2. Faktor Eksternal Siswa
Terdiri atas dua macam yaitu:
a. Lingkungan Sosial
Para guru, para staf administrasi, dan teman-teman sekelas yang dapat mempengaruhi semangat belajar seorang siswa.
b. Lingkungan Nonsosial
Gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal keluarga siswa dan letaknya, alat-alat belajar, keadaan cuaca, dan waktu belajar yang digunakan siswa.
3. Faktor Pendekatan Belajar
Merupakan cara atau strategi yang digunakan siswa dalam menunjang keefektifan dan efisiensi proses mempelajari materi tertentu. Strategi dalam hal ini berarti seperangkat langkah operasional yang direkayasa sedemikian rupa untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan belajar tertentu.
H. KESULITAN BELAJAR
1. Faktor Penyebab Kesulitan Belajar
a. Faktor Intern Siswa
Meliputi gangguan atau kekurang mampuan psiko-fisik siswa, yakni :
rendahnya kapasitas intelektual/inteligensi siswa ;1) yang bersifat kognitif (ranah cipta)
labilnya emosi dan sikap ; 2) yang bersifat afektif (ranah rasa)
terganggunya alat-alat indera penglihat dan pendengar (mata dan telinga). yang bersifat psikomotor (ranah karsa)
à3)
b. Faktor Ekstern Siswa
Meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung aktivitas belajar siswa.
Faktor lingkungan ini terdiri dari:
1) Lingkungan keluarga
2) Lingkungan masyarakat
3) Lingkungan sekolah.
2. Diagnosis Kesulitan Belajar
1) Melakukan observasi kelas
2) Memeriksa penglihatan dan pendengaran siswa khususnya yang diduga mengalami kesulitan belajar
3) Mewawancarai orang tua atau wali siswa
4) Memberikan tes diagnostik bidang kecakapan tertentu
5) Memberikan tes kemampuan intelegensi (IQ).
3. Kiat Mengatasi Kesulitan Belajar
a. Menganalisa hasil diagnosis
b. Mengidentifikasi dan menentukan bidang kecakapan tertentu yang memerlukan perbaikan ;
c. Menyusun program perbaikan, khususnya program remedial teaching (pengajaran perbaikan).
I. JENIS-JENIS BELAJAR
Berdasarkan tujuan dan hasil, jenis-jenis belajar terdiri dari:
1. Belajar Abstrak (Abstract Learning)
Tujuan: memperoleh pemahaman serta pemecahan yang tidak nyata.
Peranan akal atau rasio, penguasaan atas prinsip-prinsip dan konsep-konsep sangatlah penting.
2. Belajar Keterampilan (Skill Learning)
Tujuan: memperoleh keterampilan tertentu dengan menggunakan gerakan-gerakan motorik.
Proses pelatihan yang intensif dan teratur sangat diperlukan.
3. Belajar Sosial (Social Learning)
Tujuan memperoleh keterampilan dan pemahaman terhadap masalah-masalah sosial, penyesuaian terhadap nilai-nilai sosial dan sebagainya.
4. Belajar Pemecahan Masalah (Problem Solving)
Tujuan: memperoleh keamampuan atau kecakapan kognitif guna memecahkan masalah secara tuntas.
Kemampuan individu dalam menguasai berbagai konsep, prisip, serta generalisasi, amat diperlukan.
5. Belajar Rasional (Rational Learning)
Tujuan: memperoleh beragam kecakapan menggunakan prinsip-prinsip dan konsep-konsep.
Individu diharapkan memiliki kemampuan memecahkan masalah dengan menggunakan pertimbangan dan strategi akal sehat, logis, dan sistematis.
6. Belajar Kebiasaan (Habitual Learning)
Tujuan: agar individu memperoleh sikap dan kebiasaan yang lebih tepat dan lebih positif, dan selaras dengan kebutuhan ruang dan waktu.
7. Belajar Apresiasi (Apreciation Learning)
Tujuan: agar individu memperoleh dan mengembangkan kecakapan ranah rasa (effective skills).
8. Belajar Pengetahuan (Study)
Tujuan: memperoleh atau menambah informasi dan pemahaman terhadap pengetahuan tertentu.
Berdasarkan cara atau proses yang ditempuh dalam belajar, jenis-jenis belajar sebagai berikut:
1. Belajar Berdasarkan Pengamatan (Sensory Type of Learning)
2. Belajar berdasarkan Gerak (Motor Type of Learning)
3. Belajar Berdasarkan Menghafal (Memory Type of Learning)
4. Belajar Berdasarkan Pemecahan Masalah (Problem Solving Type of Learning)
5. Belajar Berdasarkan Emosi (Emotional Type of Learning)
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Dalam proses belajar mengajar kepribadian guru sebagai faktor yang sangat penting dan sangat berpengaruh terhadap para siswa
2. Guru yang baik adalah guru yang waspada secara profesional, memperbaiki dan meningkatkan mutu pekerjaannya lebih matang, memiliki nilai seni dan berkeinginan untuk tumbuh
3. Belajar adalah perubahan tingkah laku yang meliputi pengetahuan, kecakapan, pengertian, sikap, keterampilan dan sebagainya
4. Banyak perilaku siswa yang perlu dipahami dan dilayani secara bijaksana oleh guru
5. Bimbingan merupakan suatu proses memberi bantuan kepada individu agar individu dapat mengenal dirinya dan dapat memecahkan masalah-masalah hidupnya sendiri sehingga ia dapat menikmati hidup dengan bahagia
B. Saran
1. Kepada guru agar dapat membina siswa dengan penuh semangat dan tangungjawab yang tinggi dengan menuggunakan teknik-teknik pembinaan yang bersifat agar para siswa tidak bosan dalampembelajaran
2. Kepada siswa agar dapat meningkatkan kemampuannya melalui proses pembelajaran
3. Kepada siswa agar dapat mempertahankan tinkat kecerdasan emosionalnya
DAFTAR PUSTAKA
Hamalik, oemar 1990. Psikologi belajar dan mengajar. Bandung. Sinar Baru Algensindo
Harsono. 1988. Choaching dan aspek-aspek psikologis dalam choaching jakarta. C.V. Tambak Kusuma
Nur, Masjumi. 2008. Dasar-dasar pendidikan jasmani, Makassar FIK UNM
Surya brata, Sumadi 2002. Psikologi kepribadian, Jakarta.PT Raja Grafindo Persada
Suryabrata, Sumadi. 1990.Psikologi Perkembangan Yogjakarta, Rake Sarasin
fektif/
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belajar mengajar adalah suatu kegiatan yang bernilai edukatif. Nilai edukatif mewarnai interaksi yang terjadi antara guru dengan anak didik. Interaksi yang bernilai edukatif dikarenakan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan, diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dirumuskan sebelum pengajaran dilakukan. Guru dengan sadar merencanakan kegiatan pengajarannya secara sistematis dengan memanfaatkan segala sesuatunya guna kepentingan pengajaran.
Keragaman potensi siswa, maka metode kerja kelompok mempunyai andil yang cukup besar dalam kegiatan belajar mengajar. Kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki anak didik, akan ditentukan oleh relevansi penggunaan metode yang sesuai dengan tujuan, sehingga tujuan pembelajaran akan dapat tercapai sesuai dengan standar keberhasilan yang tercantum di dalam suatu indikator. Salah satu faktor yang menyebabkan peserta didik kurang berminat dan mengalami kesulitan dalam belajar Sains adalah penggunaan strategi dan metode mengajar yang monotones dan kurang tepat.
Guru merupakan kunci dalam pembelajaran, keberhasilan anak didik dalam belajar ditentukan oleh peran guru dalam mengolah kegiatan belajar mengajar. Bahkan kajian mata pelajaran Sains di SMP merupakan pengembangan dari bahan kajian Sains di SD yang diperluas sampai kepada bahan kajian yang mengandung konsep abstrak dan dibahas secara kuantitatif. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa pelaksanaan proses pembelajaran yang ditemukan di sekolah-sekolah adalah banyak pengajaran Sains yang terbatas pada produk atau fakta, konsep dan teori saja, serta masih dilaksanakan secara tradisional.
Pelaksanaan pembelajaran Sains masih belum sesuai dengan tuntutan kurikulum, yaitu mengembangkan keterampilan proses untuk memperoleh konsep-konsep sains dalam menumbuhkan nilai dan sikap ilmiah (Nur, 1998:2). Fakta lain ditemukan bahwa pembelajaran sains kurang melaksanakan kerja kelompok dan diskusi. Hal ini mencerminkan pembelajaran sains umumnya pasif dan cenderung berpusat pada guru. Pembelajaran dengan menggunakan metode kerja kelompok diharapkan akan meningkatkan hasil belajar siswa, kemampuan guru mengelola kegiatan belajar mengajar sudah dapat mengubah dari pembelajaran yang berpusat kepada guru pembelajaran yang berpusat pada anak didik.
Menurut Kartika dalam Drost (1998 : 168), bahaw keterampilan proses sains akan terbentuk hanya melalui rposes kerja kelompok yang berulang-ulang. Anak didik tidak akan mampu menerapkan konsep, terampil berkomunikasi, terampil mengajukan pertanyaan, jika tidak ada peluang untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan tersebut. Peluang saja tidak cukup, tanpa direalisasikan. Anak didik harus menggunakan peluang itu untuk melakukan sedniri proses secara terus menerus dalam bentuk kelompok. Berangkat dari beberapa pandangan tersebut di atas, maka dalam kegiatan pembelajaran salah satu upaya yang dapat dilakukan guru agar siswa dapat belajar dengan aktif adalah dengan menyusun program pembelajaran yang baik, sebab dengan perencanaan dan program pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa dalam kegiatan belajar dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Prestasi belajar siswa ditandai dengan perubahan perilaku dan hasil belajar. Oleh karena itu salah satu metode guru yang dapat digunakan dalam meningkatkan prestasi belajar sains adalah dengan penggunaan metode kerja kelompok.
Kegiatan pembelajaran sains yang dilaksanakan di SD 11 Batubassi Kabupaten Maros menggunakan metode ceramah yang sangat monoton sehingga aktivitas belajar siswa sangat minim. Hasil observasi yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa rata-rata kelas pada mata pelajaran sains siswa kelas III Tahun ajaran 2005/2006 adalah 5,5 yaitu masih tergolong ke dalam kategori rendah. Selain itu, siswa cenderung pasif dan tidak saling membantu dalam kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu, dilakukan suatu penelitian tentang peningkatan hasil belajar sains melalui penggunaan metode kerja kelompok siswa kelas III di SD 11 Batubassi Kabupaten Maros.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah “Apakah ada peningkatan hasil belajar sains melalui penggunaan metode kerja kelompok siswa kelas III di SD 11 Batubassi Kabupaten Maros”?
C. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya peningkatan hasil belajar sains melalui metode kerja kelompok siswa kelas III SD 11 Batubassi Kabupaten Maros.
D. Manfaat Hasil Penelitian
Hasil-hasil yang diperoleh melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada para guru, siswa dan masyarakat yang terkait dengan dunia pendidikan. Manfaat tersebut adalah sebagai berikut :
a. Sebagai bahan acuan bagi guru dalam menyusun perangkat pembelajaran yang sesuai dengan karekteristik materi untuk dipergunakan dalam pembelajaran sains di SD 11 Batubassi Kabupaten Maros yang menerapkan metode kerja kelompok.
b. Sebagai bahan kajian bagi guru dalam menyusun dan dapat menjadi bahan perbandingan bagi guru sains dalam membuat perangkat pembelajaran untuk berbagai standar kompetensi dan kompetensi dasar, baik dengan menerapkan strategi kerja kelompok maupun menerapkan strategi-strategi lainnya.
c. Sebagai rujukan bagi pihak lain yang ingin melakukan penelitian sejenis dengan kondisi sosio-ekonomi yang sama dengan SD 11 Batubassi Kabupaten Maros.
d. Karena pada tahap-tahap strategi kerja kelompok terdapat tahap berpikir bersama (diskusi), sehingga dengan menggunakan strategi kerja kelompok dapat menjadi wahana bagi siswa untuk menumbuhkembangkan semangat kerja sama dan meningkatkan kepekaan sosial diantara mereka.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Tinjauan Pustaka
1. Konsep Belajar Sains
Gambaran pembelajaran sains menurut Kurikulum 2004 dan Nur (2001:3) Menurut Kurikulum 2004 bahwa sains meliputi dua hal, yaitu sains sebagai produk dan sains sebagai proses (Depdiknas, 2003:6). Produk sains terdiri atas fakta, konsep, prinsip, teori, dan hukum. Sedangkan proses sains meliputi keterampilan-keterampilan dan sikap-sikap yang dimiliki para ilmuwan untuk memperoleh dan mengembangkan pengetahuan sains.
Menurut Nur (2001:3), pembelajaran sains merupakan sesuatu yang dilakukan siswa, bukan sesuatu yang dilakukan untuk siswa. Pembelajaran sains harus melibatkan siswa dalam penyelidikan-penyelidikan berorientasi inkuiry. Di dalam kegiatan itu, mereka dapat berinteraksi dengan guru dan teman mereka. Siswa mengemukakan hubungan antara pengetahuan sains yang telah mereka miliki dan penentuan ilmiah yang ditemukan dalam banyak sumber, mereka menerapkan isi, konsep sains pada pertanyaan-pertanyaan baru. Mereka terlibat dalam pemecahan masalah, perencanaan, pengambilan keputusan, dan diskusi kelompok, mereka mengalami penelitian dan evaluasi yang konsisten dengan pendekatan aktif dalam belajar tersebut.
Guru seharusnya memperhatikan dua hal penting dalam pembelajaran sains. Pertama, keterampilan-keterampilan proses dalam pembelajaran, hendaknya mendapat perhatian secara proporsional dari para penyelenggara pendidikan terutama guru. Menurut Kartiak (Drost, 1998:169), keterampilan proses sains akan terbentuk hanya melalui proses berulang-ulang. Siswa akan terampil berkomunikasi jika dilakukan terus-menerus. Kedua, guru menggunakan strategi pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk lebih aktif melakukan sesuatu untuk memperoleh produk sains. Karena itu dalam belajar sains dibutuhkan pendekatan yang menumbuhkembangkan kemampuan-kemampuan untuk menggunakan keterampilan proses (Nur, 2002:3).
2. Metode Kerja Kelompok
Kegiatan belajar mengajar terkadang guru menggunakan metode mengajar secara bervariasi, termasuk metode kerja kelompok. Metode kerja kelompok memang suatu waktu diperlukan dan perlu digunakan untuk membina dan mengembangkan sikap sosial anak didik. Hal ini didasari bahwa anak didik adalah jenis makhluk homo socius, yakni makhluk yang berkecenderungan untuk hidup bersama. Metode kerja kelompok, diharapkan dapat ditumbuhkembangkan rasa sosial yang tinggi pada diri setiap anak didik. Peserta didik dibina untuk mengendalikan rasa egois yang ada dalam diri mereka, sehingga terbina sikap kesetiakawanan sosial di kelas. Peserta didik sadar bahwa hidup ini saling ketergantungan, seperti ekosistem dalam mata rantai kehidupan semua makhluk hidup di dunia. Tidak ada makhluk yang terus menerus berdiri sendiri tanpa keterlibatan makhluk lain, langsung atau tidak langsung, didasari satau tidak, makhluk lain itu ikut ambil bagian dalam kehidupan makhluk tertentu (Winarno, 1995).
Anak didik dibiasakan hidup bersama, bekerja sama dalam kelompok, akan menyadari bahwa dirinya ada kekurangan dan kelebihan. Anak yang memiliki kelebihan dengan ikhlas mau membantu mereka yang mempunyai kekurangan. Sebaliknya, mereka yang mempunyai kekurangan dengan rela hati mau belajar dari mereka yang mempunyai kelebihan, tanpa ada rasa minder. Persaingan yang positif pun terjadi di kelas dalam rangka untuk mencapai hasil belajar yang optimal. Inilah yang diharapkan, yakni anak didik yang aktif, kreatif, dan mandiri. Ketika guru ingin menggunakan metode kerja kelompok, maka guru harus sudah mempertimbangan bahwa hal itu tidak bertentangan dengan tujuan, fasilitas belajar pendukung, metode yang akan dikapai sudah dikuasai, dan bahan yang akan diberikan kepada anak didik memang cocok disajikan dengan metode kerja kelompok. Karena itu, metode kerja kelompok tidak bisa dilakukan secara sembarangan, tetapi harus mempertimbangkan hal-hal lain yang ikut mempengaruhi penggunaannya (Suryosubroto, 1998).
Keakraban yang berhubungan dengan kelompok ditentukan oleh tarikan-tarikan interpersonal, atau saling menyukai satu sama lain, yang memiliki kecenderungan menanamkan keakraban sebagai tarikan kelompok adalah satu-satunya faktor yang menyebabkan kelompok bersatu. Keakraban kelompok ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: perasaan diterima atau disukai teman-teman, tarikan kelompok, teknik pengelompokan oleh guru, partisipasi/ keterlibatan dalam kelompok, penerimaan tujuan kelompok dan persetujuan dalam cara mencapainya, struktur dan sifat-sifat kelompok. Sedang sifat-sifat kelompok itu adalah: suatu multi personalia dengan tingkatan keakraban tertentu, suatu sistem interaksi, suatu organisasi atau struktur, merupakan suatu motif tertentu dan tujuan bersama, merupakan suatu kekuatan atau standar perilaku-perilaku tertentu, dan pola perilaku yang dapat diobservasi yang disebut kepribadian (Suryosubroto, 1998).
3. Tinjauan Hasil Belajar
Proses belajar mengajar dapat dikatakan berhasil, setiap guru memiliki pandangan masing-masing sejalan dengan filsafatnya. Perlu dipahami bahwa setiap proses belajar mengajar termasuk dengan menggunakan metode kerja kelompok selalu menghasilkan hasil belajar. Masalah yang dihadapi adalah sampai di tingkat mana prestasi (hasil) belajar yang telah dicapai dengan menggunakan metode tertentu. Sehubungan dengan hal inilah keberhasilan proses belajar mengajar itu dibagi atas beberapa tingkatan atau taraf. Tingkatan keberhasilan tersebut adalah sebagai berikut : Istimewa/maksimal; apabila sebagian besar (76% s.d 99%) bahan pelajaran yang diajarkan dapat dikuasai oleh siswa, baik/minimal; apabila bahan pembelajaran yang diajarkan kurang dari 60% dikuasai oleh siswa.
Hasil belajar tersusun dari dua kata yaitu “Hasil” dan “Belajar”. Hasil pada dasarnya adalah suatu yang diperoleh dari suatu aktivitas. Sedangkan belajar menurut Sudjana (2001:11) adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan ini sebagai hasil proses belajar ditunjukkan dalam bentuk perubahan pengetahuan, pemahaman, perubahan sikap dan tingkah laku, serta perubahan pada aspek-aspek lain yang ada pada individu yang belajar. Hasil belajar dapat diketahui setelah diadakan evaluasi sesuai dengan tujuan instruksional yang telah dirumuskan. Menurut Djamarah (1996:28) yang menjadi petunjuk bahwa suatu proses belajar mengajar dianggap berhasil adalah : daya serap siswa terhadap bahan pengajaran yang diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara individu maupun kelompok dan perilaku yang digariskan dalam indikator pembelajaran yang harus dicapai oleh siswa baik secara individu maupun kelompok.
Hasil belajar untuk mengukur keberhasilan siswa yang berkaitan dengan aspek-aspek kognitif psikomotorik, dan apektif. Hasil belajar siswa dalam bidang studi tertentu dapat diketahui dengan jalan melakukan pengukuran yang dikenal dengan istilah pengukuran hasil belajar. Pengukuran hasil belajar menurut Sudjana (2001) ialah suatu tindakan atau kegiatan untuk melihat sejauh mana tujuan-tujuan instruksional dapat dicapai atau dikuasai oleh siswa setelah menempuh pengalaman belajaranya (proses belajar mengajar).
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah sesuatu yang diperoleh seseorang setelah mengikuti proses belajar. Untuk mengetahui proses belajar siswa, maka guru menggunakan alat ukur evaluasi berupa tes hasil belajar. Dengan menggunakan tes maka guru bisa mengetahui tingkat keberhasilan dan penguasaan siswa terhadap pelajaran sehingga dapat memberikan acuan kepada guru tindakan apa yang akan dilakukan pada keperluan selanjutnya.
B. Kerangka Pikir
Salah satu upaya untuk memperoleh sumber daya manusia yang berkualitas adalah dengan meningkatkan mutu pendidikan. Upaya peningkatan mutu pendidikan selama ini telah dilakukan oleh pihak sekolah, utamanya guru yang bertindak sebagai tenaga pendidik. Upaya-upaya yang telah dilakukan adalah pembaharuan kurikulum, seminar pendidikan, penggunaan media pendidikan dalam mengajar, dan penyediaan buku-buku pelajaran bagi siswa secara gratis, namun hal tersebut memberikan hasil yang maksimal terhadap hasil belajar siswa. Oleh karena itu, guru mencoba menerapkan metode kerja kelompok dengan tujuan agar hasil belajar siswa dapat meningkat.
Kegiatan belajar mengajar yang mampu meningkatkan hasil belajar siswa adalah tugas dan tanggung jawab guru sebagai tenaga pendidik. Guru diharapkan dapat memilih dan menggunakan metode mengajar yang sesuai dengan konsep yang dibawakan dan harus relevan dengan psikologis anak, sehingga minat dan motivasi serta hasil belajar siswa dapat meningkat. Metode pengajaran kerja kelompok jarang digunakan oleh guru, utamanya pada bidang studi sains, karena adanya keterbatasan waktu dan kesulitan mengontrol aktivitas siswa, padahal jika dilaksanakan sesuai dengan prosedur, metode mengajar ini dapat ditingkatkan. Adanya metode kerja kelompok, diharapkan agar hasil belajar siswa dapat meningkat.
Penerapan metode kerja kelompok perlu dilaksanakan karena dari hasil observasi didapatkan data bawah selama ini guru mengajar dengan menggunakan metode yang monoton yaitu ceramah. Metode ceramah hanya mengaktifkan guru, sedangkan siswa hanya mendengarkan saja. Untuk menghilangkan sifat pasif siswa selama ini, maka diperlukan suatu metode mengajar yang cocok untuk mengaktifkan siswa dalam berbicara maupun memecahkan suatu masalah secara bersama. Adanya interaksi belajar akan membangkitkan semangat dan minat belajar sehingga dapat mengoptimalkan hasil belajar siswa.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Variabel Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang meliputi (1) perencanaan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) observasi dan evaluasi, (4) refleksi.
2. Variabel Penelitian
Variabel penelitian didefinisikan sebagai salah satu simbol atau atribut yang mengungkapkan beberapa konsep. Keberadaan variabel ini akan mempermudah mengamati objek yang diteliti. Di dalam penelitian ini variabel yang akan diamati adalah metode kerja kelompok sebagai variabel bebas, dan hasil belajar sains peserta didik sebagai variabel terikat.
B. Definisi Operasional Variabel
Untuk menghindari terjadinya penafsiran yang berbeda mengenai konsep atau istilah yang digunakan di dalam penelitian ini, maka perlu diberikan batasan tentang variabel-variabel yang diamati.
1. Metode kerja kelompok adalah salah satu metode pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran sains yang turut membantu penyampaian proses belajar mengajar di mana siswa diharuskan untuk bekerja secara berkelompok, tiap kelompok berjumlah 4 orang siswa.
2. Hasil belajar adalah nilai yang telah dicapai oleh siswa setelah mengikuti suatu proses pembelajaran yang diperoleh dari tes hasil belajar.
C. Subyek Penelitian
Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas III SD 11 Batubassi Kabupaten Maros pada tahun pembelajaran 2007/2008 yang berjumlah 28 orang siswa.
D. Prosedur Penelitian
Penelitian tindakan ini dilaksanakan dalam 2 (dua) siklus, yaitu siklus I dan siklus II. Sebelum penerapan tindakan pada siklus pertama, terlebih dahulu dilakukan observasi awal untuk memperoleh model dan format penerapan tindakan pada siklus I. sedangkan tindakan yang diterapkan pada siklus II adalah ditentukan berdasarkan hasil refleksi dan analisis data pada siklus I.
Sesuai dengan hakekat penelitian tindakan kelas, maka prosedur pelaksanaan penelitian untuk masing-masing siklus melalui beberapa tahap, yaitu (a) perencanaan, (b) pelaksanaan tindakan, (c) observasi dan evaluasi, serta (d) refleksi.
Prosedur pelaksanaan penelitian secara terperinci adalah sebagai berikut :
a. Siklus Pertama
1) Perencanaan
Adapun kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah :
a) melakukan observasi awal untuk menemukan model dan format penerapan tindakan pada siklus I.
b) Membuat skenario pembelajaran sesuai dengan metode yang dipergunakan beserta topik atau tema yang akan diberikan pada masing-masing siswa berdasarkan pokok bahasan yang dipelajari
c) Membuat lembar observasi untuk mengamati proses pembelajaran selama menerapkan tindakan, yang meliputi keaktifan belajar siswa.
2) Pelaksanaan Tindakan
Kegiatan yang dilaksanakan pada tahap ini adalah melaksanakan pembelajaran sesuai dengan skenario pembelajaran yang telah disusun. Sekali lagi, skenario pembelajaran harus menonjolkan metode kerja kelompok.
3) Observasi dan evaluasi
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah :
Melaksanakan observasi terhadap pelaksanaan tindakan secara khusus dan proses pembelajaran secara umum dengan menggunakan lembar observasi yang telah disiapkan. Observasi dilaksanakan selama proses pembelajaran berlangsung keaktifan belajar siswa.
4) Refleksi
Refleksi dilakukan berdasarkan hasil analisis data, baik data hasil observasi maupun data hasil evaluasi. Refleksi ini dilakukan dengan tujuan untuk menilai apakah tindakan pembelajaran dengan penggunaan metode kerja kelompok sudah berjalan secara optimal dan apakah dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa.
b. Siklus Kedua
Secara garis besar kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada setiap tahap dalam siklus II adalah sama dengan kegiatan-kegiatan pada siklus I. perubahan yang mendasar adalah pada jenis tindakan yang diberikan. Sebagaimana sudah dikemukakan sebelumnya, bahwa rencana tindakan pada siklus II disusun berdasarkan hasil refleksi dan analisis data pada siklus I. untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan di bawah ini.
Gambar 1. Bagan Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas.
E. Teknis Pengumpulan Data
Data diperoleh adalah data kuantitatif yaitu data tentang hasil belajar siswa. Selain itu, diambil pula data yang bersifat kualitatif yaitu aktivitas belajar siswa selama berlangsungnya kegiatan pembelajaran dengan metode kerja kelompok yang meliputi : mendengarkan penjelasan guru, membaca materi, menulis materi penting, berdiskusi dengan teman, mengamati kerja kelompok, menganggu teman, mengerjakan latihan, dan mengumpulkan tugas.
F. Teknis Analisis Data
Sesuai dengan jenis data yang akan dikumpulkan, maka analisis data penelitian dilakukan dalam dua macam yaitu analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif diberlakukan pada data hasil observasi terhadap kegiatan pembelajaran dengan metode kerja kelompok. Sedangkan analisis kuantitatif diberlakukan pada data tentang hasil belajar siswa dalam kegiatan pembelajaran. Adapun pengkategorian hasil belajar siswa yang digunakan dapat dilihat pada tabel 1 berikut.
Tabel 1. Kriteria penilaian hasil belajar menurut Arikunto (2001)
Internal Nilai Pengkategorian
81 – 100
66 – 80
56 – 65
46 – 55
0 – 45 Sangat Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat rendah
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Data hasil penelitian memperlihatkan bahwa nilai tertinggi yang diperoleh siswa kelas III SD Negeri 11 Batubassi Kabupaten Maros, yang mengikuti pembelajaran Sains melalui metode kerja kelompok pada siklus I adalah 80, nilai terendah 33,3 dan nilai rata-rata 55,26.
Data hasil penelitian ini juga memperlihatkan bahwa nilai tertinggi yang diperoleh siswa kelas III SD Negeri 11 Batubassi Kabupaten Maros yang mengikuti pembelajaran sains melalui metode kerja kelompok pada siklus II adalah 86,7, nilai terendah 53,3; dan nilai rata-rata 70,7.
Nilai keseluruhan yang diperoleh siswa, jika dikelompokkan ke dalam lima kategori, maka distribusi frekuensi dan persentase kategori hail belajar sains siswa kelas III SD Negeri 11 Batubassi Kabupaten Maros, melalui metode kerja kelompok pada siklus I, menunjukkan rata-rata hasil belajar yang lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata nilai yang diperoleh siswa pada siklus II. Untuk lebih jelasnya, distribusi frekuensi dan persentase kategori hasil belajar siswa dapat dilihat pada tabel 2 berikut.
Tabel 2. Distribusi frekuensi dan persentase kategori hasil belajar sains siswa kelas III SD Negeri 11 Batubassi Kabupaten Maros melalui metode kerja kelompok siklus I dan siklus II.
Interval
Nilai Kategori Jumlah Siswa Persentase (%)
Siklus I Siklus II Siklus I Siklus II
81 – 100 Sangat Tinggi 0 4 0 14,29
66 – 80 Tinggi 5 17 17,86 60,71
56 – 65 Sedang 6 6 21,43 21,43
46 – 55 Rendah 15 1 53,57 3,57
0 – 45 Sangat Rendah 2 0 7,14 0
Jumlah 28 28 100 100
Tabel 2. Menunjukkan bahwa dari 28 siswa kelas III SD Negeri 11 Batubassi Kabupaten Maros yang mengikuti pembelajaran sains melalui metode kerja kelompok pada siklus I terdapat 0% siswa yang memperoleh nilai yang berada pada kategorikan sangat tinggi; 17,86% dikategorikan tinggi; 21,43% dikategorikan sedang; 53,57 % dikategorikan rendah dan 7,14% dikategorikan sangat rendah. Sedangkan dari 28 siswa yang mengikuti pembelajaran sains melalui metode kerja kelompok pada siklus II yaitu 14,29% dikategorikan sangat tinggi; 60,71 % dikategorikan tinggi; 21,43% dikategorikan seadng; 3,57% dikategorikan rendah dan 0% dikategorikan sangat rendah. Hasil di atas menunjukkan bahwa hasil belajar siswa yang belajar melalui metode kerja kelompok mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II.
Aktivitas siswa yang diajar dengan menggunakan metode kerja kelompok, memperlihatkan adanya peningkatan dari siklus I ke siklus II. Siklus I merupakan awal kegiatan pembelajaran dengan menggunakan kerja kelompok, sehingga ada beberapa aktivitas siswa yang tidak terlaksana secara maksimal, misalnya mendengarkan penjelasan guru, menulis materi penting, berdiskusi dengan teman, bahkan pada pertemuan pertama siklus I frekuensis siswa yang menganggu teman, bahkan pada pertemuan pertama siklus I frekuensi siswa yang menganggu teman saat belajar masih tinggi dan masih ditemukan siswa yang tidak mengumpulkan tugas diakhir PBM.
Hasil observasi aktivitas belajar siswa saat diajar dengan menggunakan metode kerja kelompok, mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II. Adapun aktivitas belajar siswa yang diamati oleh guru dan observer pada siklus I dan siklus II dapat dilihat pada tabel 3 berikut.
Tabel 3. Hasil pengamatan aktivitas belajar siswa pada siklus I dan siklus II yang diajar dengan menggunakan metode kerja kelompok.
No Aktivitas Siswa Frekuensi Persentase (%)
Siklus I Siklus II Siklus I Siklus II
1 Mendengarkan penjelasan guru/teman 23 28 82,1 100
2 Membaca materi pelajaran 23 27 82,1 96,4
3 Menulis materi penting 23 27 82,1 96,4
4 Berdiskusi dengan teman 20 28 71,4 100
5 Mengamati kerja kelompok 23 28 82,1 100
6 Menganggu teman yang sedang belajar 5 1 17,9 3,6
7 Mengerjakan latihan yang diberikan oleh guru 23 28 82,1 100
8 Mengumpulkan tugas. 23 28 82,1 100
Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa ada peningkatan aktivitas belajar siswa dari siklus I ke siklus II. Pada siklus I terdapat 82,1% siswa yang aktif mendengarkan penjelasan guru/teman; 82,1 % siswa yang aktif membaca materi pelajaran; 82,1 siswa yang aktif menulis materi penting; 71,4% siswa yang aktif berdiskusi; 82,1 siswa yang aktif mengamati media gambar yang dipasang oleh guru saat mengajar; 17,9% siswa yang menganggu temannya saat belajar; 82,1% siswa yang aktif mengerjakan tugas; dan 82,1% siswa yang mengumpulkan tugas diakhiri PBM.
Tabel 3 juga menunjukkan bahwa pada siklus II terjadi peningkatan aktivitas belajar siswa yaitu terdapat 100% siswa yang mendengarkan penjelasan guru/teman; 96,4% siswa yang aktif membaca materi pelajaran; 96,4 siswa yang aktif menulis materi penting; 100% siswa yang aktif berdiskusi; 100 siswa yang aktif mengamati media gambar yang dipasang oleh guru saat mengajar; 3,6% siswa yang menganggu temannya saat belajar; 100% siswa yang aktif mengerjakan tugas; dan 100% siswa yang mengumpulkan tugas di akhir PBM.
1. Refleksi Siklus I
Refleksi pada siklus I terlihat bahwa tiap kelompok belum menunjukkan kerjasama yang baik antar sesama anggota kelompok pada saat berdiskusi. Hal ini dikarenakan siswa yang baru bertemu dalam satu kelompok, sehingga perlu adaptasi dengan karakter anggota kelompok, saat guru menerangkan di depan kelas, ada beberapa orang siswa yang kurang serius dalam mendengarkan penjelasan guru. Hal ini disebabkan oleh aktivitas lain yang dilakukan oleh siswa seperti belajar dengan mata pelajaran lain, siswa saling berbicara dengan anggota kelompoknya, dan ada siswa yang sengaja menganggu teman kelompoknya.
Saat kegiatan diskusi berlangsung, sebagian siswa tidak aktif dalam mendengarkan pendapat temannya, mereka sibuk sendiri dengan teman kelompoknya. Saat diskusi kelas berlangsung, masih ada siswa yang merasa canggung untuk mengutarakan pendapatnya. Hal ini disebabkan karena selama ini guru mengajar dengan menggunakan metode ceramah, sehingga siswa tidak terbiasa untuk melakukan kegiatan diskusi. Suasana kelas saat kegiatan diskusi ribut dan menganggu siswa lainnya. Saat pembentukan kelompok, kelas menjadi tidak terkendali sehingga menganggu proses pembelajaran kelas lainnya.
Kendala yang didapat pada siklus I sebagai hasil refleksi yang dilakukan oleh peneliti, maka dilakukan perbaikan sebagai berikut : memberikan waktu kepada siswa untuk saling mengenal dengan anggota kelompoknya dengan cara membentuk kelompok dua hari sebelum PBM berlangsung, sehingga mereka bisa akrab dan saling mengetahui karakter setiap anggota kelompoknya. Siswa yang tidak memperhatikan guru saat mengajar atau bermain-main saat guru menerangkan materi di depan kelas, guru akan memberikan pertanyaan-pertanyaan disela-sela PBM.
Siswa yang ribut saat kegiatan PBM akan diberikan sanksi berupa PR atau salinan materi diakhir PMB. Suasana ribut dapat dikendalikan dengan cara pembentukan kelompok dan pengaturan bangku kelompok setelah pulang sekolah, sehingga pada saat pembelajaran akan dimulai, mereka sudah mengetahui posisi mereka tanpa saling berebutan. Guru juga memberikan motivasi belajar serta latihan kepada siswa melalui kegiatan kerja kelompok kepada siswa di luar jam pelajaran, sehingga siswa yang masih canggung atau ragu mengutarakan ide atau pendapatnya dapat melakukan kegiatan diskusi dengan baik. Guru juga mengajari kepada mereka tentang bagaimana cara berdiskusi yang baik dan benar sehingga mereka tidak egois dalam mempertahankan jawaban yang salah dan mau menerima pendapat orang lain.
2. Refleksi Siklus II
Refleksi pada siklus II, memperlihatkan adanya peningkatan aktivitas belajar siswa. Terjadi kerjasama dalam kelompok kerja, mereka tidak lagi cenderung dalam berdiskusi, siswa sudah mau menerima pendapat orang lain, saat guru menjelaskan atau saat kegiatan diskusi berlangsung, mereka sudah antusias dalam mendengarkan, dan suasana ribut di kelas saat kegiatan diskusi berlangsung sudah dapat diminimalkan. Meskipun demikian semua aktivitas belajar tidak terlaksana 100% masih ada siswa yang tidak serius saat belajar, tapi jumlahnya lebih sedikit bila dibandingkan pada siklus I. karena keterbatasan waktu dan materi pelajaran sudah selesai diajarkan, maka siklus III tidak dilanjutkan.
B. Pembahasan
Hasil analisis data yang telah diuraikan di atas, maka secara deskriptif hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa hasil belajar sains siswa kelas III SD Negeri 11 Batubassi Kabupaten Maros yang diajar dengan menggunakan metode kerja kelompok pada siklus I termasuk dalam kategori rendah. Hasil penelitian ini didukung oleh besarnya presentase siswa yang mendapat nilai pada interval 46 – 55 yaitu 53,57% atau sebanyak 15 orang siswa dari 28 siswa. Nilai rata-rata kelas yang diperoleh setelah siklus I adalah 55,26.
Secara deskriptif hasil penelitian ini juga mengungkapkan bahwa hasil belajar sains siswa kelas III SD Negeri 11 Batubassi Kabupaten Maros yang diajar dengan menggunakan metode diskusi kelompok kecil pada siklus II, termasuk dalam kategori tinggi. Hasil penelitian ini didukung oleh besarnya persentase siswa yang mendapat nilai pada interval 66 – 80 yaitu 60,71% atau sebanyak 17 orang siswa dari 28 siswa. Nilai rata-rata kelas yang diperoleh setelah siklus II adalah 70,79 yang berada pada interval tinggi. Secara umum dapat dikatakan bahwa terjadi peningkatan hasil belajar siswa yang belajar dengan menggunakan metode pembelajaran kelompok kecil.
Hasil analisis data, memperlihatkan adanya perbedaan hasil belajar siswa pada siklus I dengan siklus II yang diajar dengan menggunakan metode kerja kelompok. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang telah dilakukan oleh (Silberman, 2000) yang menyimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas (classroom action research) dapat meningkatkan hasil belajar siswa, karena adanya pemberian tindakan terhadap siswa yang memiliki hasil belajar rendah. Selain itu, penelitian tindakan kelas menuntut guru untuk melakukan perbaikan dalam mengajar, seperti menyesuaikan metode mengajar dengan kondisi kelas, sehingga hal ini akan merangsang motivasi belajar siswa dan akan berdampak terhadap hasil belajar siswa.
Berbicara tentang metode mengajar, metode kerja kelompok adalah sebuah konsep atau metode yang memiliki strategi pembelajaran (treatment) yang efektif digunakan untuk menangani individu tertentu sesuai dengan kemampuan peserta didik. Kerja kelompok merupakan metode yang berisikan sejumlah strategi pembelajaran yang efektif digunakan untuk menangani siswa tertentu sesuai dengan karakter serta kemampuan yang dimiliki oleh siswa (Suprayekti, 2004).
Metode kerja kelompok masih jarang digunakan di sekolah, hal ini disebabkan oleh keterbatasan waktu dan ruang kelas yang tidak memadai untuk menerapkan metode pembelajaran tersebut. Metode kerja kelompok dimulai dengan mengidentifikasi setiap siswa berdasarkan tingkat kemampuannya dalam menginterpretasikan maksud suatu konsep sehingga lebih mudah dipahami. Dalam kegiatan ini, guru akan mengelompokkan siswa menjadi kelompok-kelompok tertentu yang bertugas untuk mendiskusikan konsep-konsep yang diberikan dengan anggota kelompok dengan kapasitas anggota yang lebih sedikit, sehingga jalannya kegiatan diskusi terarah dan terfokus pada materi yang dibahas, sedangkan guru bertindak sebagai fasilitator jalannya kegiatan diskusi.
Metode pembelajaran ini cocok untuk diterapkan di sekolah untuk memperbaiki mutu siswa dan meningkatkan kualitas belajar siswa, metode kerja kelompok untuk diterapkan, sebab guru dapat mengetahui siswa yang memiliki kemampuan kurang dan dapat dengan cepat memberikan tindakan terhadap siswa yang dianggap kesulitan dalam belajar. Hasil penelitian yang telah dilakukan di SD Negeri 11 Batubassi Kabupaten Maros, memberikan gambaran bahwa terjadi peningkatan hasil belajar siswa yang diajar dengan menggunakan metode kerja kelompok. Jika dilihat dari siklus I ke siklus II terlihat adanya peningkatan hasil belajar siswa yang signifikan, yaitu pada siklus I rata-rata siswa mendapat nilai pada kategori rendah, sedangkan pada siklus II rata-rata siswa mendapat nilai pada kategori tinggi. Rendahnya nilai yang diperoleh siswa pada siklus I dimungkinkan oleh situasi belajar yang dianggap masih baru oleh siswa, dalam hal ini adalah metode mengajar yang belum maksimal diterapkan oleh guru, sehingga siswa kurang berkonsentrasi terhadap pelajaran. Setelah siklus II, siswa mulai kenal dan akrab dengan metode serta adanya hasil refleksi pada siklus I, memberikan kesempatan kepada guru untuk melakukan perbaikan langkah-langkah PBM, selain itu kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh guru pada siklus I sedapat mungkin diperbaiki pada siklus II dan siswa sudah berkonsentrasi dengan materi pelajaran sehingga hal ini akan memberikan pengaruh terhadap hasil belajar siswa.
Melalui penerapan metode kerja kelompok, aktivitas belajar siswa di kelas memperlihatkan kecenderungan meningkat. Kelompok yang telah dibentuk di awal pembelajaran akan memiliki kemampuan dan keberanian untuk tampil di depan kelas, sehingga secara tidak langsung metode ini akan melatih keterampilan berbicara siswa. Pada hakekatnya metode ini akan merangsang motivasi dan minat belajar siswa, sehingga hal tersebut mendorong siswa untuk aktif mencari materi pelajaran melalui buku, majalah, media lainnya di perpustakaan dan melalui kegiatan diskusi kelompok. Pada siswa yang berkemampuan sedang, timbul rasa percaya diri yang tinggi dalam belajar, karena selama ini mereka selalu berada dalam bayang-bayang rasa takut salah dan ditertawakan oleh siswa yang pandai dalam menyatakan pendapat. Demikian pula siswa dengan kemampuan rendah, di samping telah lepas dari dominasi siswa yang cerdas, mereka juga telah memiliki percaya diri yang cukup kuat dan termotivasi belajar lebih giat, karena kelompok ini ditangani dengan special treatment yaitu melalui re-teaching-tutorial yang senantiasa diberi dorongan secara terus menerus dan diperhatikan kebutuhan serta kesanggupannya dalam belajar (Suprayekti, 2004).
Belajar dengan menggunakan metode kerja kelompok akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling melakukan komunikasi dengan teman-temannya, dengan tujuan untuk menyatukan pendapat. Hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan merupakan penyatuan dari beberapa orang siswa, sehingga jawaban yang diperoleh lebih akurat. Saat melakukan kerja kelompok, setiap siswa harus bertanggung jawab terhadap kelompoknya, dengan demikian akan memunculkan motivasi belajar siswa untuk belajar dengan sungguh-sungguh, dengan tujuan agar kerja kelompok mereka mendapat nilai maksimal. Adanya kegiatan kerja kelompok akan menguatkan ikatan sosial antar siswa, sehingga tidak ada lagi kesenjangan sosial di antara siswa, dan akan mendukung pencapaian hasil belajar siswa.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa ada peningkatan hasil belajar dan aktivitas belajar siswa yang diajar dengan menggunakan metode kerja kelompok di SD Negeri 11 Batubassi Kabupaten Maros.
B. Saran
Sehubungan dengan kesimpulan hasil penelitian di atas, maka saran yang dapat dikemukakan oleh peneliti adalah :
1. Untuk meningkatkan pemahaman materi siswa akan materi yang diajarkan, sebaiknya dalam mengajar guru harus menggunakan metode kerja kelompok, agar hasil belajar yang diperoleh siswa dapat meningkat.
2. Diharapkan kepada guru yang akan menerapkan metode kerja kelompok dalam PBM, harus mempertimbangkan tingkat kemampuan siswa dalam penyebaran anggota kelompok.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Analisis Deskriptif hasil belajar sains pada Siklus I
Data hasil belajar sains siswa pada Siklus I diperoleh melalui pemberian tes hasil belajar sains setelah menyelesaikan pokok bahasan sains sub pokok mengidentifikasikan ciri-ciri makhluk berdasarkan hasil pengamatan langsung di sekitar lingkungan sekolah. . Adapun deskriptif skor hasil belajar matematika siswa pada Siklus I dapat dilihat pada tabel 4.1 sebagai berikut.
Tabel 4.1 Statistik Skor Hasil Belajar Sains Siswa pada Siklus I
Statistik Nilai Statistik
Subjek Penelitian 28
Skor maksimum ideal 100
Rata-rata 55.2607
Standar Deviasi 9,928
Median 54,736
Skor Tertinggi 80
Skor Terendah 33.30
Rentang Skor 46,70
Berdasarkan tabel 4.1 diperoleh bahwa rata-rata skor hasil belajar sains siswa kelas III SD Negeri 11 Batubassi Kabupaten Maros setelah pemberian tindakan pada Siklus I adalah 55,26 dari skor ideal yang mungkin dicapai yaitu 100, skor tertinggi 80 dan skor terendah 33,30 dengan standar deviasi 9,928.
Apabila skor hasil belajar matematika siswa tersebut dikelompokkan ke dalam
5 kategori sesuai dengan klasifikasi yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, maka diperoleh distribusi frekuensi dan persentase skor hasil belajar matematika siswa pada Siklus I, sebagai berikut.
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi dan Persentase Skor Hasil Belajar Matematika Siswa pada Siklus I
Skor Kategori Frekuensi Persentase
0-34 Sangat rendah 0 0
35 – 54 Rendah 9 20
55 – 64 Sedang 6 13,33
65 – 84 Tinggi 16 35,56
85 – 100 Sangat Tinggi 14 31,11
Berdasarkan tabel 4.2 diperoleh bahwa dari 45 siswa ke1as VII.2 SMP Negeri 2 Bulukumba, terdapat sebanyak 0% yang hasil belajarnya masuk dalam kategori sangat rendah, 20% yang masuk dalam kategori rendah, 13,33% yang masuk dalam kategori sedang, 35,56% yang masuk dalam kategori tinggi dan 31,11% yang masuk dalam kategori sangat tinggi.
Berdasarkan skor hasil belajar matematika siswa juga diperoleh bahwa serap siswa terhadap materi rata-rata mencapai 72,80% dari daya serap 100% yang mungkin dicapai. Sedangkan ketuntasan belajar siswa dapat dilihat berdasarkan daya serap siswa. Apabila daya serap siswa terhadap materi tersebut dikelompokkan ke dalam kategori tuntas dan tidak tuntas, maka diperoleh distribusi frekuensi dan persentase ketuntasan belajar matematika pada Siklus I sebagai berikut.
Tabe1 4.3 Distribusi Frekuensi dan Persentase Ketuntasan Belajar Matematika Siswa pada Siklus I
Daya Serap Siswa Kategori Ketuntasan Belajar Frekuensi Persentase (%)
0% – 64,99% Tidak tuntas 15 33,33
65% -100 % Tuntas 30 66,67
Berdasarkan tabel 4.3 diperoleh bahwa dari 45 siswa kelas VII2 SMP Negeri 2 Bulukumba, setelah pemberian tindakan pada Siklus I sebanyak 15 siswa masuk dalam kategori tidak tuntas dan sebanyak 30 orang masuk dalam kategori tuntas. Sedangkan ketuntasan belajar secara klasikal sebesar 66,67%.
Berdasarkan tabel 4.1, tabel 4.2 dan tabel 4.3, diketahui pula bahwa tingkat kemampuan dan hasil belajar matematika siswa kelas VI SMP Negeri 2 Bulukumba setelah pemberian tindakan pada Siklus I secara rata-rata berada pada kategori tinggi meskipun bukan tuntas secara klasikal.
2. Deskripsi Hasil Belajar setelah Pemberian Tindakan pada Siklus II
Data hasil belajar matematika siswa pada Siklus II diperoleh melalui pemberian tes hasil belajar matematika setelah menyelesaikan pokok bahasan pecahan sub pokok bahasan operasi hitung pada pecahan. Adapun deskriptif skor hasil belajar matematika siswa pada Siklus II dapat dilihat pada tabel 4.4 sebagai berikut.
Tabel 4.4 Statistik Skor Hasil Belajar Matematika Siswa pada Siklus II
Statistik Nilai Statistik
Subjek Penelitian 45
Skor maksimum ideal 100
Rata-rata 80,58
Standar Deviasi 12,53
Median 81,80
Skor Tertinggi 100
Skor Terendah 51
Rentang Skor 49
Berdasarkan tabe1 4.4 diperoleh bahwa rata-rata skor hasil belajar matematika siswa setelah pemberian tindakan pada Siklus II adalah 80,58 dari skor ideal yang mungkin dicapai yaitu 100. Skor tertinggi 100 dan skor terendah 51 dengan standar deviasi 12,53.
Apabila skor hasil belajar matematika siswa tersebut dikelompokkan ke dalam 5 kategori sesuai dengan klasifikasi yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, maka diperoleh distribusi frekuensi dan persentase skor hasil belajar matematika siswa pada Siklus II, sebagai berikut.
Tabe1 4.5 Distribusi Frekuensi dan Persentase Skor Hasil Belajar
Matematika Siswa pada Siklus II
Skor Kategori Frekuensi Persentase
0-34 Sangat rendah 0 0
35 – 54 Rendah 1 2,22
55 – 64 Sedang 6 13,33
65 – 84 Tinggi 22 48,89
85 – 100 Sangat Tinggi 16 35,56
Berdasarkan tabe1 4.5 diperoleh bahwa dari 45 siswa kelas VIL2 SMP Negeri 2 Bulukumba, terdapat sebanyak 0% yang hasil belajamya masuk dalam kategori sangat rendah, 2,22% yang masuk dalam kategori rendah, 13,33% yang masuk dalam kategori sedang, 48,89% yang masuk dalam kategori tinggi dan 35,56% yang masuk dalam kategori sangat tinggi.
Berdasarkan skor hasil belajar matematika siswa juga diperoleh bahwa daya serap siswa terhadap materi rata-rata mencapai 80,58% dari daya serap 100% yang mungkin dicapai. Sedangkan ketuntasan belajar siswa dapat dilihat berdasarkan daya serap siswa. Apabila daya serap siswa terhadap materi tersebut dikelompokkan ke dalam kategbri tuntas dan tidak tuntas, maka diperoleh distribusi frekuensi dan persentase ketuntasan belajar matematika pada Siklus II sebagai berikut.
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi dan Persentase Ketuntasan Belajar
Siswa pada Siklus II
Daya Serap Siswa Kategori Ketuntasan Belajar KetunKetuntKetuntasan Frekuensi Persentase (%)
0% – 64,99% Tidak tuntas 7 15,55
65% -100 % Tuntas 38 84,45
Berdasarkan tabel 4.6 diperoleh bahwa dari 45 siswa kelas VII2 SMP Negeri 2 Bulukumba, setelah pemberian tindakan pada Siklus II sebanyak 7 orang masuk dalam kategori tidak tuntas dan sebanyak 38 siswa masuk dalam kategori tuntas. Sedangkan ketuntasan belajar secara klasikal sebesar 84,45%.
Berdasarkan tabel 4.4, tabel 4.5 dan tabel 4.6 di atas, diketahui pula bahwa tingkat kemampuan dan hasil belajar matematika siswa kelas VII.2 SMP Negeri 2 Bulukumba setelah pemberian tindakan pada Siklus II secara rata-rata berada pada kategori tinggi meskipun belum tuntas secara klasikal.
3. Deskripsi Sikap Siswa dalam Proses Pembelajaran pad a Siklus I
Data sikap siswa pada Siklus I diperoleh melalui observasi siswa selama proses pembelajaran di setiap pertemuan. Adapun deskripsi sikap siswa pada Siklus I dapat dilihat pada tabe14.7 sebagai berikut.
Tabe1 4.7 Distribusi Frekuensi Observasi Aktivitas Siswa pada Siklus I
Kriteria Penilaian Pertemuan ke- Rata- Persentase
1 2 3 4 rata (%)
Kehadiran 43 42 44 43 43 95,56
Menanggapi pertanyaan guru 17 21 22 24 21 46,67
Menanggapi pertanyaan ternan 8 7 11 10 9 20
Mengajukan Pertanyaan 10 9 11 13 10,75 23,89
Masih rnernerlukan birnbingan 23 17 18 14 18 40
Mernbuat kesirnpulan 6 4 3 6 4.75 10,56
Mengurnpulkan tugas 29 31 30 34 31 68,89
Berdasarkan tabel 4.7 diperoleh bahwa dari 45 siswa kelas VII.2 SMP Negeri 2 Bulukumba, kehadiran siswa rata-rata mencapai 95,56%, siswa yang memberikan tanggapan atas pertanyaan guru rata-rata mencapai 46,67%, siswa yang memberi tanggapan atas pertanyaan teman rata-rata mencapai 20%, siswa yang mengajukan pertanyaan rata-rata rnencapai 23,89%, siswa yang masih rnemerlukan bimbingan rata-rata mencapai 40%, siswa yang dapat menarik kesimpulan rata-rata mencapai 10,56% dan siswa yang mengumpulkan tugas rata-rata mencapai 68,89%.
4. Deskripsi Sikap Siswa dalam Proses Pembelajaran pada Siklus II
Data sikap siswa pada Siklus I diperoleh melalui observasi aktivitas siswa selama proses pembelajaran di setiap pertemuan. Adapun deskripsi aktivitas siswa pada Siklus II dapat dilihat pada tabel 4.8 sebagai berikut.
Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi dan Persentase Observasi aktivitas Siswa
pada Siklus II
I Kriteria Penilaian I Pertemuan ke- Rata- Persentase
1 2 3 4 rata (%)
Kehadiran 44 45 43 45 44,25 98,33
~enanggapipertanyaanguru 27 24 29 31 27,75 61,67
~enanggapi-pertanyaan ternan 8 . 11 17 15 12,75 28,33
~engajukan Pertanyaan 12 10 13 15 12,5 27,78
~asih memerlukan bimbingan 20 16 13 14 15,75 35
~embuat kesimpulan 11 14 17 16 14,5 32,22
~engumpulkan tugas 40 43 43 45 42,75 95
Berdasarkan tabel 4.8 diperoleh bahwa dari 45 siswa kelas VII2 SMP Negeri 2 Bulukumba, setelah pemberian tindakan pada Siklus II kehadiran siswa rata-rata mencapai 98,33%, siswa yang memberikan tanggapan atas pertanyaan guru rata-rata mencapai 61,67%, siswa yang memberi tanggapan atas pertanyaan ternan rata-rata mencapai 28,33%, siswa yang mengajukan pertanyaan rata-rata mencapai 27,78%, siswa yang masih memerlukan bimbingan rata-rata mencapai 40%, siswa yang dapat menarik kesimpulan rata-rata mencapai 32,22%, dan siswa yang mengumpulkan tugas rata-rata mencapai 95%.
B. Refleksi
1. Refleksi Siklus I
Pertemuan pertama pada Siklus I penelitian tindakan ini, pembahasan dimulai dengan memperkenalkan bentuk-bentuk bangun segiempat. Proses pembelajaran dirancang dengan menggunakan LKS dan alat peraga sebagai media pembelajaran. Pada pertemuan pertama tersebut umumnya siswa telah menunjukkan antusias belajar yang positif, keberanian bertanya, menanggapi pertanyaan dan semangat mengerjakan LKS membuat suasana pembelajaran menjadi gaduh dan tidak terkendali, guru lebih banyak membimbing siswa dari kelompok ke kelompok. Secara umum tampak bahwa tujuan pembelajaran pada pertemuan pertama dapat tercapai. Hal ini mungkin disebabkan siswa telah mengenal berbagai bentuk bangun segiempat sehingga umumnya siswa dapat mengerjakan LKS (1) dan tugas dengan baik. Selain itu pembelajaran dengan penemuan terbimbing yang dibentuk oleh guru, membuat siswa dapat saling bekerja sama. Menyikapi proses pembelajaran pada pertemuan pertama Siklus I terse but, bentuk retleksi lebih ditekankan pada bagaimana merancang pengelolaan kelas yang lebih baik untuk pertemuan berikutnya.
Proses pembelajaran pada pertemuan kedua, membahas pengertian dan sifat persegi panjang. Proses pembelajaran ini dikendalikan oleh guru matematika dan dirancang dengan penemuan terbimbing. Menyadari kekurangan pada pertemuan pertama tampak bahwa guru berusaha mengelola kelas dengan membimbing siswa secara kelompok dan klasikal. Siswa pun tetap menunjukkan antusias belajarnya dan suasana kelas lebih terkendali. Namun secara umum siswa mengalami kesulitan dalam membuat kesimpulan materi, mengerjakan LKS (2) dan mengerjakan tugas. Hal ini mungkin disebabkan materi pembelajaran lebih sulit daripada pertemuan sebelumnya. Akibatnya hanya sebahagian kecil siswa yang mampu membuat kesimpulan materi. Akan tetapi melalui pembelajaran dengan penemuan terbimbing, siswa dapat bekerjasama mengerjakan LKS (2). Menyikapi proses pembelajaran pada pertemuan kedua tersebut, bentuk refleksi lebih ditekankan pada penyampaian tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa untuk bergiat melakukan penemuan.
Proses pembelajaran pada pertemuan ketiga, membahas materi pengertian dan sifat-sifat persegi. Proses pembelajaran ini dikendalikan oleh peneliti. Walaupun kekurangan-kekurangan sebelumnya dapat teratasi, akhimya ditemukan kekurangan bahwa sebahagian besar siswa sulit dalam komunikasi dan verbalisasi. Untuk itu siswa masih perlu banyak dibimbing secara individu. Akan tetapi dengan motif pengeIjaan LKS (3) yang sarna seperti LKS (2), secara umum siswa mampu mengeIjakan LKS dan tugasnya. Menyikapi kekurangan pada pertemuan ketiga terse but, bentuk refleksi lebih ditekankan pada pemberian bimbingan secara perorangan pada pertemuan berikutnya.
Proses pembelajaran pada pertemuan keempat, membahas materi keliling dan luas persegipanjng dan persegi. Proses pembelajaran dikendalikan oleh guru matematika sebagai peneliti dengan penemuan terbimbing. Menyadari kekurangan sebelumnya tampak bahwa guru berusaha membimbing setiap siswa dalam masing¬masing kelompok secara lebih baik. Siswa pun lebih menunjukkan antusias belajar jika proses pembelajaran dilaksanakan dengan penemuan terbimbing. Namun sangat sulit mendeteksi siswa yang benar-benar telah dapat menyimpulkan dan yang masih perlu dibimbing. Menyikapi proses pembelajaran pada pertemuan keempat tersebut, bentuk refleksi lebih ditekankan pada pemberian bimbingan secara perorangan.
Tes hasil belajar matematika pada Siklus I menunjukkan bahwa rata-rata skor hasil belajar siswa berada pada kategori sedang. Menyikapi hal tersebut dan dengan mengamati berbagai kekurangan dan kemajuan siswa selama Siklus I, tampak bahwa hambatan utama siswa belajar dengan metode penemuan terbimbing adalah pemahaman konsep sangat kurang dan materi penunjang untuk mempelajari bangun segiempat tidak diketahui oleh siswa, masalah komunikasi dan verbalisasi, sehingga umumnya siswa merasa sui it dalam menyelesaikan tes hasil belajar dan menginterpretasikan maksud soal. Skor siswa rendah banyak disebabkan karena tidak mampu menuliskan prosedur penyelesaian soal, apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan. Oleh karena itu, bentuk refleksi akan ditekankan pada bimbingan mengingat materi penunjang dan membimbing siswa menemukan.
2. Refleksi Siklus II
Proses pembelajaran pada pertemuan pertama Siklus II, membahas materi pengertian, sifat-sifat dan luas daerah belahketupat. Proses pembelajaran dikendalikan oleh guru sebagai peneliti. Guru berusaha memberikan motivasi dan umpan balik terhadap hasil refleksi pada Siklus I, dan menunjukkan bahwa guru sebagai fasilitator dan bukan satu-satunya sumber belajar bagi siswa, sehingga harus lebih banyak bertanya mengantarkan siswa untuk dapat menemukan sendiri pengetahuannya, mampu mengerjakan LKS dan tligas dengan pemikirannya sendiri. Namun untuk membimbingsetiap siswa dengan kemampuan yang heterogen dan tergolong rendah ini, proses pembelajaran membutuhkan ban yak waktu. Untuk itu, bentuk refleksi lebih ditekankan pada pengelolaan waktu agar proses pembelajaran selesai tepat pada waktunya dan tujuan pembelajaran tercapai.
Proses pembelajaran pada pertemuan kedua Siklus II, membahas materi pengertian, sifat-sifat dan luas daerah layang-layang. Proses pembelajaran dikendalikan oleh guru matematika sebagai peneliti. Dengan motif mengerjakan LKS dan yang sarna pada pertemuan sebelumnya, siswa merasa lebih mudah menemukan dan mampu menyelesaikan LKS serta tugasnya, sehingga masalah pengelolaan waktu pun dapat teratasi. Pada pertemuan ini bentuk refleksi lebih ditekankan pada memberikan bimbingan lebih banyak untuk siswa dengan kemampuan rendah sedangkan siswa yang sudah cukup kemarnpuannya dibiarkan menemukan sendiri.
Proses pembelajaran pada pertemuan ketiga Siklus II, membahas materi pengertian, sifat-sifat dan luas daerah trapesium. Proses pembelajaran dikendalikan oleh guru matematika sebagai peneliti. Sarna halnya pada pertemuan kedua Siklus II, pada pertemuan ini bentuk refleksi lebih ditekankan pada memberikan bimbingan lebih banyak untuk siswa dengan kemampuan rendah sedangkan siswa yang sudah cukup kemarnpuannya akan dibiarkan menemukan sendiri. Bentuk refleksi akan ditekankan pada penguasaan materi, konsep dan materi pendukung.
Proses pembelajaran pada pertemuan keempat Siklus II, membahas materi penerapan bangun segiempat dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajaran dipandu oleh guru sebagai peneliti. Tampak bahwa pada umumnya siswa sulit menuliskan prosedur penyelesaian soal.
Tes hasil belajar matematika pada Siklus II menunjukkan bahwa rata-rata skor
hasil belajar siswa berada pada kategori tinggi. Menyikapi hal tersebut dan dengan mengamati berbagai kekurangan dan kemajuan siswa selama Siklus II tampak bahwa sebahagian besar hambatan pada Siklus I dapat diatasi meskipun masih terjadi pada Siklus II. Umumnya siswa telah mampu menuliskan prosedur penyelesaian soal, apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan sehingga skor hasil belajar matematika siswa
kelas VII.2 SMP Negeri 2 Bulukumba pada Siklus II ini umumnya meningkat.
3. Hasil Tanggapan Siswa Setelah Pemberian Tindakan pada Proses Pembelajaran
Berdasarkan analisis tanggapan siswa tentang pelajaran matematika diperoleh bahwa pada dasarnya semua siswa menyukai pelajaran matematika. Bahkan 2 siswa mengaku menyukai pelajaran matematika sejak SD. Menambahkan tanggapan mereka, 5 siswa menyukai pelajaran matematika karena gurunya, 4 siswa menyukai pelajaran matematika dengan alas an pelajaran matematika gampang dan mudah dimengerti, 9 siswa menyukai pelajaran matematika dengan alasan pelajaran matematika gampang-gampang susah dan 12 siswa menyukai pelajaran matematika engan alasan pelajaran matematika sebagai ilmu yang bermanfaat dalam kehidupan sehingga sangat penting untuk dipelajari.
Berdasarkan tanggapan-tanggapan siswa diperoleh gambaran bahwa sikap dan
kemampuan guru mengajar sangat mempengaruhi pendapat siswa tentang pelajaran matematika, sulit atau mudah. Sebanyak 2 siswa yang berpendapat bahwa menyukai
Tes hasil belajar matematika pada Siklus II menunjukkan bahwa rata-rata skor hasil belajar siswa berada pada kategori tinggi. Menyikapi hal tersebut dan dengan mengamati berbagai kekurangan dan kemajuan siswa selama Siklus II tampak bahwa sebahagian besar hambatan pada Siklus I dapat diatasi meskipun masih terjadi pada Siklus II. Umumnya siswa telah mampu menuliskan prosedur penyelesaian soal, apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan sehingga skor hasil belajar matematika siswa kelas VII2 SMP Negeri 2 Bulukumba pada Siklus II ini umumnya meningkat.
Hasil Tanggapan Siswa Setelah Pemberian Tindakan pada Proses Pembelajaran.
Berdasarkan analisis tanggapan siswa tentang pelajaran matematika diperoleh bahwa pada dasamya semua siswa menyukai pelajaran matematika. Bahkan 2 siswa mengaku menyukai pelajaran matematika sejak SD. Menambahkan tanggapan mereka,5 siswa menyukai pelajaran matematika karena gurunya, 4 siswa menyukai pelajaran matematika dengan alasan pelajaran matematika gampang dan mudah dimengerti, 9 siswa menyukai pelajaran matematika dengan alasan pelajaran matematika gampang-gampang susah dan 12 siswa menyukai pelajaran matematika dengan alasan pelajaran matematika sebagai ilmu yang bermanfaat dalam kehidupan sehingga sangat penting untuk dipelajari.
Berdasarkan tanggapan-tanggapan siswa diperoleh gambaran bahwa sikap dan kemampuan guru mengajar sangat mempengaruhi pendapat siswa tentang pelajaran matematika, sulit atau mudah. Sebanyak 2 siswa yang berpendapat bahwa menyukai pelajaran matematika karena gurunya baik dan mampu menjelaskan sehingg pelajaran matematika yang dirasakan sangat sulit menjadi mudah dimengerti, 5 dari 9 siswa yang berpendapat bahwa pelajaran matematika gampang-gampang susah, menyukai pelajaran matematika karena mereka mudah memahami penjelasan guru.
Berdasarkan analisis tanggapan siswa tentang pembelajaran matematika melalui metode penemuan terbimbing diperoleh bahwa dari 45 siswa kelas VII2 SMP Negeri 2 – Bulukumba, 25 siswa menyukai metode penemuan terbimbing, 3 siswa berpendapat metode penemuan terbimbing gampang-gampang susah, 4 siswa tidak menyukai metode penemuan terbimbing dan 1 siswa tidak tahu pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing. Menambah tanggapan siswa, 25 siswa yang menyukai metode penemuan terbimbing umumnya mengemukakan alasan bahwa dengan metode penemuan terbimbing, siswa dapat belajar menemukan sendiri pengetahuan dan rumus matematika. Siswa merasa senang belajar dengan menggunakan LKS dan dibimbing oleh guru, meskipun beberapa siswa berpendapat bahwa mengeIjakan LKS gampang-gampang susah, siswa dapat bertanya baik kepada guru atau kepada teman. Siswa yang berpendapat bahwa pembelajaran matematika dengan metode penemuan terbimbing gampang-gampang susah dan yang tidak menyukai metode penemuan terbimbing beralasan bahwa mereka sulit menemukan sendiri tanpa dibimbing oleh guru.
Berdasarkan analisis tanggapan siswa tentang manfaat yang diperoleh selama pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing, umumnya perpendapat banyak memperoleh manfaat. Melalui metode penemuan terbimbing siswa mengetahui cara memperoleh rumus matematika serta dapat menambah pengetahuan dan pengalaman belajar. Siswa pun dapat mengerti materi sehingga mampu mengerjakan soal dan mudah mengingat kembali pelajaran yang telah lalu.
C. Pembahasan Hasil Penelitian
Peningkatan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VII.2 SMP Negeri 2 Bulukumba. Berdasarkan analisis deskriptif hasil belajar matematika siswa kelas VII.2
SMP Negeri 2 Bulukumba, diperoleh bahwa rata-rata skor hasil belajar siswa pada Siklus I adalah 72,80 sedangkan rata-rata skor hasil belajar siswa pada Siklus II adalah 80,58 dan skor ideal yang mungkin dicapai yaitu 100. Ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan rata-rata skor sebesar 7,78 sehingga secara kuantitatif diperoleh bahwa telah terjadi peningkatan hasil belajar matematika siswa VII.2 SMP Negeri 2 Bulukumba setelah penerapan metode penemuan terbimbing pada proses pembelajaran pokok bahasan bangun segiempat dari kategori sedang menjadi kategori
tinggi.
Pada Siklus II tampak bahwa setiap siswa mengalami peningkatan skor hasil belajar matematika. Hal ini disebabkan antara lain pada Siklus II siswa telah mampu menyelesaikan soal sesuai prosedur yang diharapkan sehingga umumnya siswa dapat memperoleh skor pada setiap butir soal. Sehingga jika dikategorikan, pada Siklus I dari 45 siswa sebanyak 20% siswa berada pada kategori rendah sedangkan pada Siklus II sebanyak 35,56% skor hasil belajar siswa berada pada kategori sangat tinggi yang berarti terjadi perbedaan dengan kategori hasil belajar sacara rata-rata. Hal dapat disebabkan ada beberapa siswa yang memang memiliki kemampuan rendah, tidak dapat menemukan sendiri.
2. Perubahan Sikap dan Aktivitas Siswa Kelas VII.2 SMP Negeri 2 Bulukumba
Berdasarkan analisis deskriptif aktivitas siswa kelas VII.2 SMP Negeri 2 Bulukumba, diperoleh bahwa terjadi peningkatan aktivitas siswa. Jika dibandingkan hasil observasi Siklus I dan Siklus II, persentase rata-rata kehadiran siswa meningkat dari 95,56% menjadi 98,33%. Persentase rata-rata jumlah siswa yang memberikan tanggapan terhadap pertanyaan guru meningkat dari 46,67% menjadi 61,67%. Persentase rata-rata jumlah siswa yang memberikan tanggapan terhadap pertanyaan teman meningkat dari 20% menjadi 28,33%. Persentase rata-rata jumlah siswa yang mengajukan pertanyaan meningkat dari 23,89% menjadi 27,78%. Persentase rata-rata jutnlah siswa yang masih memerlukan bimbingan menurun clari 40% menjadi 35%. Persentase rata-rata jumlah siswa yang dapat membuat kesimpulan rneningkat dari 10,56% mel1jadi 32,22%. Persentase rata-rata jumlah siswa yang mengumpulkal1 tugas meningkat dari 68,89% menjadi 95%.
Terjadinya peningkatan persentase aktivitas siswa, kehadiran siswa mengikuti proses belajar mengajar dan jumlah siswa yang mengumpulkan tugas menunjukkan bahwa siswa memiliki perhatian yang besar dalam belajar matematika, khususnya dalam penelitian ini. Peningkatan jumlah siswa yang menanggapi pertanyaan guru atau teman dan yang mengajukan pertanyaan menunjukkan antusias sikap positif siswa dalam proses pembelajaran matematika dengan metode penemuan terbimbing. Peningkatan jumlah siswa yang mengajukan pertanyaan dapat diinterpretasikan bahwa sebahagian besar siswa merasa sulit mengerjakan LKS dan tugas, namun ini juga menunjukkan keinginan mereka untuk berani mengajukan pertanyaan dan memecahkan persoalan mereka yang patut dihargai. Selain perubahan aktivitas siswa yang menunjukkan peningkatan, juga teIjadi perubahan yang menunjukkan penurunan. Jumlah siswa yang masih memerlukan bimbingan berkurang menunjukkan bahwa akhirnya siswa mampu mengerjakan LKS tanpa dibimbing oleh guru. Hal ini dapat teIjadi karena motif mengerjakan LKS yang hampir sarana pada setiap pertemuan dan karena siswa telah terbiasa dengan metode penemuan terbimbing yang sengaja di rancang dengan aktivitas yang monoton. Sedangkan jumlah siswa yang dapat menyimpulkan materi berkurang, mungkin disebabkan tingkat kesulitan materi pada setiap pertemuan yang semakin meningkat, Peneliti menyadari untuk menumbuhkan minat siswa bergiat menemukan sendiri bukan hal yang mudah, apalagi dengan kemampuan siswa yang masih terbatas baik dalam hal pengetahuan matematika maupun dalam hal perkembangan eara berpikir siswa. Namun yang terpenting adalah membelajarkan siswa antusias, keberanian mengungkapkan kreatifitas, ide dan pemikiran, serta menumbuhkan minat belajar matematika adalah yang paling penting.
BABV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Secara kuantitatif dan secara kualitatif hasil belajar matematika siswa kelas VII.2 SMP Negeri 2 Bulukumba melalui pembelajaran pokok bahasan pecahan dengan metade penemuan terbimbing mengalami peningkatan.
2. Skor rata-rata hasil belajar matematika siswa kelas VII2 SMP Negeri 2 Bulukumba setelah pemberian tindakan pada siklus I adalah 72,80 dari skor ideal 100 yang mungkin dicapai dengan standar deviasi 16,58 dan berada pada kategari tinggi. Sedangkan skor rata-rata hasil belajar matematika siswa setelah pemberian tindakan pada siklus II adalah 80,58 dari skala ideal 100 yang mungkin dicapai dengan standar deviasi 12,53 dan berada pada kategori tinggi.
3. Daya serap siswa ke1as VII2 SMP Negeri 2 Bulukumba setelah pemberian tindakan pada siklus I adalah 72,80% dari daya serap ideal 100% yang mungkin dicapai sedangkan daya serap siswa setelah pemberian tindakan pada siklus II adalah 80,58% dari daya serap ideal 100% yang mungkin dicapai. Ketuntasan belajar matematika siswa kelas VII.2 SMP Negeri 2 Bulukumba juga meningkat. Pada siklus I, dari 45 siswa sebanyak 30 siswa dinyatakan tuntas belajar dengan ketuntasan klasikal sebesar 66,67%. Sedangkan pada siklus II, sebanyak 38 siswa dinyatakan tuntas belajar dengan ketuntasan klasikal sebesar 84,45%.
4. Perubahan sikap siswa dan aktivitas siswa kelas VII2 SMP Negeri 2 Bulukumba melalui pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing mengalarni peningkatan.
B. Saran
Untuk memaksimalkan pembelajaran matematika dan hasil belajar siswa, maka peneliti mengemukakan saran-saran sebagai berikut.
1. Pembelajaran matematika dengan metode penemuan terbimbing perlu diterapkan dan dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif metode pembelajaran matematika, agar siswa dapat mengalami proses belajar bermakna, mampu menemukan sendiri pengetahuan matematikanya.
2. Untuk melaksanakan pembelajaran matematika dengan metode penernuan terbimbing, siswa perlu banyak diberi motivasi dan penguatan agar bergiat rnelakukan penemuan.
Untuk melaksanakan pembelajaran matematika dengan metode penemuan terbimbing, siswa perlu menguasai materi penunjang pokok bahasan yang akan diajarkan.










DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman, 1993. Pengelolaan Pengajaran. Ujung Pandang: PT. bintang Selatan.
Antonius. 2004. Petunjuk Praktis Menyusun Karya Tulis Ilmiah. Bandung: CV. Irama Widya.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Depdikbud. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Djamarah, Syaiful Bahri. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta
Drost, S. J. 1998. Pendidikan Sains yang Humainis. Yogyakarta: Kanisius.
Khaeruddin & Martawijaya A.M. 2005. Peningkatan Hasil Belajar Proses Fisika. (Jurnal Sains dan Pendidikan fisika, Vol. 2 No. 2 Oktober 2005).
Nur, M. 2002. Buku Panduan Keterampilan Proses dan Hakikat Sains. Surabaya: University Press, UNESA.
Riyanto, Y. 2001. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya: Penerbit SIC Surabaya.
Silberman. 2000. Activity Learning (101 Strategi to teach Any Subject. Yapenddis United States of Amerika.
Suprayekti. 2004. Interaksi Belajar Mengajar. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Tenaga Kependidikan. Jakarta.
Suryosubroto. 1988. Dasar-dasar Psikologi untuk Pendidikan di Sekolah. Jakarta: PT. Prima Karya.
Winkel, W.S. 1996. Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT. Gramedia.
Winarno Surachmat, 1985. Interaksi Belajar Mengajar. Jakarta: Praphanta.