PERANAN GURU
DALAM BELAJAR MENGAJAR
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peran guru
sangatlah dibutuhkan untuk mendukung terciptanya suasana belajar mengajar yang
menyenangkan aktif dan memungkinkan anak berprestasi secara maksimal. Sedangkan
tingkat partisiasi yang dimaksud adalah keterlibatan siswa dalam
menyikapi,memahami,mencerna materi yang disajikan dalam proses belajar.
Bagaimanpun baiknya sarana pendidikan apabila guru tidak melaksanakan tugasnya
dengan baik maka hasil pembelajaran tidak akan memberikan hasil yang memuaskan
Menurut
Masjumi (2008:74) peranan dan tugas guru seharusnya dipilih dan ditetapkan
sebelum pelaksanaan proses belajar mengajar. Oleh karena itu guru harus
memahami betul peranannya dalam proses belajar mengajar yang bersifat majemuk,
artinya peran guru tidak hanya satu tetapi lebih dari satu
Guru sebagai pemimpin akan tampak nyata dalam proses belajar mengajar. Agar
perilaku guru ini berpengaruh baik terhadap proses belajar siswa-siswanya maka
guru dituntut untuk memahamidan mengayati gaya-gaya atau teori-teori dasar
kepemimpinan karena dengan hal demikian melalui cara, metode, gaya dalam
memimpin tipe kepribadiannya akan nampak . harsono (1988:35) mengatakan bahwa :
Ada bermacam-macam gaya kepemimpinan yaitu gaya otoriter, demokratis, gaya yang
menekankanpemenuhan kebutuhan pribadi.
Keberadaan guru didepan sebagai pemimpin bukan saja penting secara ideal tetapi
juga secara fisik amat menentukan
B. Permaslahan
1. Apakah perannan guru dalam proses
pembelajaran siswa?
2.
Bagaiman guru berperan dalam proses pembelajaran siswa?
3.
Mengapa guru dikatakan sebagai ujung tombak prosespembelajaran?
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui peranan guru
dalamprses pembelajaran siswa
2.
Untuk mengetahui bagaimana guru memegang peranan proses pembelajaran siswa
3.
Untuk mengetahui fungsi guru sebagai ujung tombak proses pembelajaran siswa
D. Manfaat Penulisan
1. Sebagai sumbangan informasi yang dijadikan
pegangan bagi guru dalam upaya meningkatkan prestasi belajar
2. Sebagai bahan perbandingan untuk dijadikan permasalahan seminar, diskusi guna
meningkatkan pembelajaran
3. Sebagai bahan masukan dalam pelaksanaan pengajara disekolah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Guru dan belajar – Mengajar
Guru
dewasa ini berkembang sesuai dengan fungsinya, membina untuk mencapai tujuan
pendidikan. Lebih-lebih dalam sistem sekolah sekarang ini, masalah pengetahuan,
kecakapan, dan keterampilan tenaga pengajar perlu mendapat perhatian yang
serius. Bagaimanapun baiknya kurikulum, administrasi, dan fasilitas
perlengkapan, kalau tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas guru-gurunya
tidak akan membawa hasil yang diharapkan. Oleh karena itu, peningkatan mutu
tenaga-tenaga pengajar untuk membina tenaga-tenaga guru yang profesional adalah
unsur yang penting bagi pembaruan dunia pendidikan.
1. Guru sebagai pengajar
Salah satu tugas yang harus
dilaksanakan oleh guru di sekolah adalah memberikan pelayanan kepada para siswa
agar mereka menjadi siswa atau anak didik yang selaras dengan tujuan sekolah.
Melalui bidang pendidikan, guru mempengaruhi aspek kehidupan, baik sosial, budaya
maupun ekonomi. Dalam keseluruhan proses pendidikan, guru merupakan faktor
utama yang bertugas sebagai pendidik. Guru memegang berbagai jenis peranan yang
mau tidak mau harus dilaksanakannya sebagai guru.
Yang
dimaksud sebagai peran adalah pola tingkah laku tertentu yang merupakan ciri
khas semua petugas dari pekerjaan atau jabatan tertentu. Guru harus
bertanggungjawab atas hasil kegiatan belajar anak melalui interaksi belajar
mengajar. Guru merupakan faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya proses belajar
mengajar, dan karenanya guru harus menguasai prinsip-prinsip belajar disamping
menguasai materi yang akan diajarkan. Dengan kata lain : guru harus mampu
menciptakan situasi kondisi belajar yang sebaik-baiknya.
2. Guru sebagai pembimbing
Bimbingan
adalah proses pemberian bantuan terhadap individu untuk mencapai pemahaman dan
pengarahan diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri secara
maksimum terhadap sekolah, keluarga serta masyarakat.
Dalam keseluruhan proses pendidikan guru merupakan faktor utama. Dalam tugasnya
sebagai pendidik, guru memegang berbagai jenis peran yang mau tidak mau harus
dilaksanakan sebaik-baiknya. Setiap jabatan atau tugas tertentu akan menuntut
pola tingkah laku tertentu pula. Sehubungan dengan peranannya sebagai pembimbing,
seorang guru harus :
1. Mengumpulkan data tentang siswa
2. Mengamati tingkah laku siswa dalam situasi sehari-hari
3. Mengenal para siswa yang memerlukan bantuan khusus
4. Mengadakan pertemuan atau hubungan dengan orangtua siswa baik
5. Secara individu maupun secara kelompok untuk memperoleh saling pengertian
tentang pendidikan anak
6. Bekerja sama dengan masyarakat dan lembaga lainnya untuk membantu memecahkan
masalah siswa
7. Membuat catatan pribadi siswa serta menyiapkannya dengan baik
8. Menyelenggarakan bimbingan kelompok atau individu
9. Bekerja sama dengan petugas bimbingan lainnya untuk membantu memecahkan
masalah siswa
10. Menyusun program bimbingan sekolah bersama-sama dengan petugas bimbingan
lainnya
11. Meneliti kemajuan siswa baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Berdasarkan
uraian di atas maka jelaslah bahwa peran guru baik sebagai pengajar maupun
sebagai pembimbing pada hakekatnya saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
Dengan kata lain, kedua peran tersebut harus dilaksanakan secara berkesinambungan
dan sekaligus merupakan keterpaduan.
B. Karaker guru berpengaruh terhadap masa depan
siswa
Kehadiran
orangtua – ayah dan ibu- sangat besar artinya bagi anak. Melalui kehadiran dan
interaksi dengan orangtua anak dapat mengenal indahnya dunia dan memahami suka-
duka kehidupan ini. Melalui orangtua maka anak mengalami pertumbuhan dan
perkembangan bahasanya. Untuk selanjutnya melalui orangtua pula seorang anak
dapat mengenal sosial atau mengenal orang lain.
Seiring dengan bertambahnya usia anak dan makin luasnya eksplorasi mereka,
akhirnya (dalam usia kanak- kanak) setiap anak mengenal dunia sekolah dan
sekaligus menjadsi anggota atau kelompok sosial di sekolah. Di sini mereka
mengenal sosok figur atau orang lain yang bisa mereka kagumi, takuti, segani
yang mereka panggil sebagai guru yang punya peran sebagai orang tua mereka di
sekolah.
Saat
anak belum mengenal dunia sekolah, maka egosentris adalah ciri khas adalah
karakter mereka. Apa saja yang ada di seputar jangkauan indera mereka diklaim
sebagai miliknya atau dalam konsep kekuasaanya. Namun saat mereka sudah
bersentuhan dengan dunia sekolah- seperti taman kanak- kanak- maka karaktere
egosentris secara perlahan berkurang dan menghilang. Mereka akhirnya memahami
dan mengenal realita sosial, harus bisa menerima posisi kalah atau menang,
bertentangan atau berdamai.
Guru
lah orang tua bagi anak di sekolah, setelah keberadaan orang tua yang di rumah,
yang sangat berpengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa dan kepribadian
anak. Sangat beruntung bahwa semua guru taman kanak- kanak mendapat respon yang
simpatik dari anak- anak akibat positif dari karakter atau prilaku guru yang
ramah tamah dan sangat simpatik atau bersahabat. Karakter yang mereka miliki
telah mampu untuk merebut hati anak makhluk- makhluk kecil itu- (anak didik
mereka). Sehingga di rumah mereka selalu memuji dan menyanjung kelebihan ibu
guru mereka.
Memasuki
usia Sekolah Dasar mereka harus berhadapan dengan berbagai macam karakter
manusia- guru guru , teman dan senior senior mereka- yang lebih bervariasi. Ada
yang baik, lembut, penyayang dan yang lebih menyeramkan adalah kalau ada
karakter yang galak dan pemarah. Maka tidak heran kalau anak- anak kecil itu
mengawali hidup mereka di Sekolah Dasar dengan penuh kecemasan dan ketegangan.
Dan mereka masih beruntung bila guru-guru di SD (Sekolah Dasar) kelas satu
masih memperlihatkan karakter yang simpatik dan ramah tamah menyerupai karakter
guru- guru mereka saat masih di Taman Kanak- Kanak. Namun mimpi buruk akan terjadi bagi anak- anak
kecil tersebut apabila mereka harus belajar dan berintegrasi dengan guru- guru
kelas satu atau kelas dua SD yang kurang bisa bersimpati dan berempati dan juga
kurang ramah di mata anak didik. Maka di sini mulai terjadi kejutan mental yang
pertama bagi mereka dalam bentuk ekspressi; menangis, menarik diri, ketakutan
dan sampai mengalami ngompol dalam kelas.
Bila
kasus ini terjadi pada suatu kelas atau suatu SD , maka adalah sangat ideal
bila bapak dan ibu guru segera mengintrospeksi diri agar mereka tidak tampil
menakutkan di mata manusia berusial kecil tersebut.
Beruntung bahwa Tuhan menganugerahi manusia kemampuan untuk beradaptasi
(menyesuaikan diri) dan berakomodasi (mengubah lingkungan) dengan social dan
lingkungan fisik. Maka dengan kekuatan dan kemampuan untuk beradaptasi dan
berakomodasi anak didik mampu untuk bertahan hidup dan berintegrasi dalam
kehidupan sosial di sekolah.
Guru
adalah manusia biasa dan sebagai manusia biasa dalam melaksanakan peran sebagai
pendidik dan sebagai pemimpin bagi anak didikdalam pelaksanaan PBM (Proses
Belajar Mengajar) mereka memiliki gaya tersendiri. Secara umum ada tiga tipe
kategori dari gaya mereka yaitu; gaya demokrasi, gaya otoriter, gaya laizzes
faire dan gaya pseudo demokrasi.
Keberadaan guru dengan gaya atau karakter otoriter- memperlihatkan kekuasaan
mutlak atas anak didik- selama pelaksanaan PBM dapat mendatangkan mimpi buruk
bagi setiap anak didik. Senyum manis dan kata- kata yang lembut merupakan
barang yang langka yang diperoleh dari guru berkarakter otoriter. Guru killer
adalah istilah lain yang diberikan oleh anak didik untuk guru berkarakter
otoriter tersebut.
Sekali
lagi bahwa belajar dengan guru yang berkarakter otoriter adalah suatu mimpi
buruk bagi anak didik. Suasana kelas tentu saja akan menjadi tenang dan
teratur. Gerak laju jarum jam dinding terasa begitu lambat dan lama. Atmosfir
ruangan kelas menjadi lebih kaku dan menegangkan dan menakutkan. Guru
berkarakter killer atau berkarakter otoriter akan berpotensi untuk melahirkan
anak didik yang suka membisu dan penakut. Adalah suatu keputusan yang bijaksana
bagi pribadi yang memiliki karakter otoriter untuk tidak menjadi pendidik
dimanapun berada, apalagi mengajar untuk Sekolah Dasar, karena keberadaan
mereka cendrung merugikan dan merusak pertumbuhan jiwa anak didik.
Pseudo demokrasi adalah berarti “demokrasi yang palsu”. Karakter guru dengan
pseudo demokrasi agaknya juga tidak memperoleh simpati di mata anak didik.
Soalnya guru dengan karakter begini cendrung memonopoli kekuasaan. Keputusan
yang ia buat disosialisasikan kepada anak didik namun keputusan akhir tetap
menjadi monopoli mutlaknya.
Guru
dengan karakter laissez faire- masa bodoh- cendrung menurunkan kualitas budaya
sekolah. Suasana kelas akan menjadi amburadul, apalagi bila populasi kelas
cukup besar. Peranan guru yang berkarakter lassez faire bisa agak bagus apa
bila ia mengelola kelas yang berpopulasi kecil. Agaknya guru dengan karakter
demikian perlu bersikap lebih tegas dan punya prinsip atas nilai kebenaran.
Menambah kualitas ilmu dan wawasan dan kemudian bersikap lebih tegas akan mampu
mengatasi problema karakter laizzes faire.
Guru yang berkarakter demokrasi adalah guru yang memiliki hati nurani yang
tajam. Guru dengan karakter beginilah yang mampu menghadirkan hatinya dalam
emosi anak didik selama pembelajaran. Guru berkarakter demokrasi dan memiliki
wawasan yang tinggi tentu akan mampu memenangkan hati anak didik atau
memoltivasi mereka dalam pembelajaran. Guru yang mampu menghadirkan hatinya
pada hati anak didik disebut sebagai guru yabg baik dan mereka akan dikenang
oleh anak didik sepanjang hayatnya. Yang lebih banyak dikenang adalah guru yang
baik.
Setiap
anak didik telah banyak mengenal banyak guru dalam hidupnya, ada guru yang
pintar dan ada guru yang baik. Sekali lagi bahwa guru yang berkesan bagi mereka
adalah guru yang menghadirkan hati atau emosinya saat melaksanakan PBM. Guru
yang cerdas atau pintar namun memiliki pribadi yang kaku, mungkin juga kasar,
kurang bisa bersimpati, pasti tidak banyak memberi pengaruh kepada anak didik.
Guru
yang mampu memberi pengaruh untuk masa depan anak didik lewat kata- kata atau
bahasanya adalah guru yang memiliki pribadi yang hangat dan juga cerdas. Untuk
itu adalah sangat ideal bila setiap guru mampu meningkatkan kualitas pribadinya
menjadi guru yang cerdas, yaitu cerdas intelektual, cerdas emosi dan juga
cerdas spiritualnya. Maka guru- guru yang beginilah yang patut diberi hadiah
dengan lagu “guru pahlawan tanpa tanda jasa”.
Kata kata yang diucapkan oleh guru kepada siswa atau anak didik dalam pergaulan
mereka di sekolah sangat menentukan masa depan mereka. Kata kata yang diucapkan
oleh guru pada anak didik ibarat panah yang lepas dari busur. Kata yang keluar
dari mulut guru akan menancap pada hati anak didik. Bila kata- kata tadi
melukai hati mereka, maka goresannya akan membekas sampai tua. Sering kata kata
yang tidak simpatik dari seorang guru telah menghancurkan semangat hidup
mereka. Sebaliknya kata kata yang mampu memberi dorongan semangat juga sangat
berarti dalam menumbuh dan mengembangkan semangat hidup- semangat belajar dan
bekerja mereka. Maka untuk itu guru perlu menjalin hubungan dengan anak didik
lewat kata- kata yang berkualitas.
C. Guru yang profesional
Pada
era otonomi pendidikan, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang amat besar
bagi penentuan kualitas guru yang diperlukan di daerahnya masing-masing. .Oleh
karena itu di masa yang akan datang, daerah benar-benar harus memiliki pola
rekrutmen dan pola pembinaan karier guru agar tercipta profesionalisme
pendidikan di daerah. Dengan pola rekrutmen dan pembinaan karier guru yang
baik, akan tercipta guru yang profesional dan efektif. Untuk kepentingan
sekolah, memiliki guru yang profesional dan efektif merupakan kunci
keberhasilan bagi proses belajar-mengajar di sekolah itu. Bahkan, John Goodlad,
seorang tokoh pendidikan Amerika Serikat, pernah melakukan penelitian yang
hasilnya menunjukkan bahwa peran guru amat signifikan bagi setiap keberhasilan
proses pembelajaran. Penelitian itu kemudian dipublikasikan dengan titel:
Behind the Classroom Doors, yang di dalamnya dijelaskan bahwa ketika para guru
telah memasuki ruang kelas dan menutup pintu-pintu kelas itu, maka kualitas pembelajaran akan lebih banyak ditentukan oleh
guru. Hal ini sangat masuk akal, karena ketika proses pembelajaran berlangsung,
guru dapat melakukan apa saja di kelas. Ia dapat tampil sebagai sosok yang
menarik sehingga mampu menebarkan virus nAch (needs for achievement) atau
motivasi berprestasi, jika kita meminjam terminologi dari teorinya McCleland.
Di dalam kelas itu seorang guru juga dapat tampil sebagai sosok yang mampu
membuat siswa berpikir divergent dengan memberikan berbagai pertanyaan yang
jawabnya tidak sekedar terkait dengan fakta, ya-tidak. Seorang guru di kelas
dapat merumuskan pertanyaan kepada siswa yang memerlukan jawaban secara
kreatif, imajinatif – hipotetik, dan sintetik (thought provoking questions).
Sebaliknya, dengan otoritasnya di kelas yang begitu besar itu, bagi seorang
guru juga tidak menutup kemungkinan untuk tampil sebagai sosok yang membosankan,
instruktif, dan tidak mampu menjadi idola bagi siswa di kelas.
Bahkan dia juga bisa berkembang ke arah proses pembelajaran yang secara tidak
sadar mematikan kreativitas, menumpulkan daya nalar, mengabaikan aspek afektif,
dan dengan demikian dapat dimasukkan ke dalam kategori banking concept of
education-nya Paulo Friere, atau learning to have-nya Eric From. Pendek kata,
untuk melindungi kepentingan siswa, dan juga untuk mengembangkan sumber daya
manusia (SDM) di daerah dalam jangka panjang di masa depan, guru memang harus
profesional dan efektif di kelasnya masing-masing ketika ia harus melakukan
proses belajar-mengajar.
Dalam
konteks otonomi pendidikan, hasil penelitian John Goodlad tersebut memiliki
implikasi bahwa pemerintah daerah perlu menciptakan sebuah sistem rekrutmen dan
pembinaan karier guru agar para guru benar-benar memiliki profesionalisme dan
efektivitas yang tinggi supaya ketika ia memasuki ruang kelas mampu menegakkan
standar kualitas yang ideal bagi proses pembelajaran. Suatu pekerjaan dikatakan
profesional jika pekerjaan itu memiliki kriteria tertentu. Jika kita mengikuti
pendapat Houle, ciri-ciri suatu pekerjaan yang profesional meliputi: (1) harus
memiliki landasan pengetahuan yang kuat; (2) harus berdasarkan atas kompetensi
individual (bukan atas dasar KKN-pen.); (3) memiliki sistem seleksi dan
sertifikasi; (4) ada kerjasama dan kompetisi yang sehat antar sejawat; (5)
adanya kesadaran profesional yang tinggi; (6) memiliki prinsip-prinsip etik
(kode etik); (7) memiliki sistem sanksi profesi; (8) adanya militansi
individual; dan (9) memiliki organisasi profesi. Dari ciri-ciri ini Kantor
Dinas Pendidikan di daerah dapat menterjemahkan ke dalam sistem rekrutmen dan
pembinaan karier guru agar profesi-onalisme guru dapat selalu ditingkatkan di
daerahnya masing-masing. Tanpa berbuat seperti itu kualitas guru akan selalu
ketinggalan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan kata lain,
agar guru tetap profesional perlu ada sistem pembinaan karier yang baik,
tersistem, dan berkelanjutan.
Guru yang profesional perlu melakukan pembelajaran di kelas secara efektif.
Kemudian, bagaimana ciri-ciri guru yang efektif ? Menurut Gary A. Davis dan
Margaret A. Thomas, paling tidak ada empat kelompok besar ciri-ciri guru yang
efektif. Keempat kelompok itu terdiri dari:
Pertama,
memiliki kemampuan yang terkait dengan iklim belajar di kelas, yang kemudian
dapat dirinci lagi menjadi (1) memiliki keterampilan interperso-nal, khususnya
kemampuan untuk menunjukkan empati, penghargaan kepada siswa, dan ketulusan;
(2) memiliki hubungan baik dengan siswa; (3) mampu menerima, mengakui, dan
memperhatikan siswa secara tulus; (4) menunjukkan minat dan antusias yang
tinggi dalam mengajar; (5) mampu menciptakan atmosfir untuk tumbuhnya kerja
sama dan kohesivitas dalam dan antar kelompok siswa; (6) mampu melibatkan siswa
dalam meng-organisasikan dan merencanakan kegiatan pembelajaran; (7) mampu
mendengarkan siswa dan menghargai hak siswa untuk berbicara dalam setiap
diskusi; (8) mampu meminimal-kan friksi-friksi di kelas jika ada.
Kedua,
kemampuan yang terkait dengan strategi manajemen pembelajaran, yang meliputi:
(1) memiliki kemampuan untuk menghadapi dan menangani siswa yang tidak memiliki
perhatian, suka menyela, mengalihkan pembicaraan, dan mampu memberikan transisi
substansi bahan ajar dalam proses pembelajaran; (2) mampu bertanya atau
memberikan tugas yang memerlukan tingkatan berpikir yang berbeda untuk semua
siswa.
Ketiga,
memiliki kemampuan yang terkait dengan pemberian umpan balik (feedback) dan
penguatan (reinforcement), yang terdiri dari: (1) mampu memberikan umpan balik
yang positif terhadap respon siswa; (2) mampu memberikan respon yang bersifat
membantu terhadap siswa yang lamban belajar; (3) mampu memberikan tindak lanjut
terhadap jawaban siswa yang kurang memuaskan; (4) Mampu memberikan bantuan
profesional kepada siswa jika diperlukan.
Keempat,
memiliki kemampuan yang terkait dengan peningkatan diri, terdiri dari: (1)
mampu menerapkan kurikulum dan metode mengajar secara inovatif; (2) mampu
mem-perluas dan menambah pengetahuan mengenai metode-metode pengajaran; (3)
mampu memanfaatkan perencanaan guru secara kelompok untuk menciptakan dan
mengembang-kan metode pengajaran yang relevan. (dikutip dari wesite ybs )
D. Ciri-ciri guru yang baik dan efektif
John
Goodlad, seorang tokoh pendidikan Amerika Serikat, pernah melakukan penelitian
yang hasilnya menunjukkan bahwa peran guru amat signifikan bagi setiap
keberhasilan proses pembelajaran.
Penelitian itu kemudian dipublikasikan dengan titel: Behind the Classroom
Doors, yang di dalamnya dijelaskan bahwa ketika para guru telah memasuki ruang
kelas dan menutup pintu-pintu kelas itu, maka kualitas pembelajaran akan lebih
banyak ditentukan oleh guru. Hal ini sangat masuk akal, karena ketika proses
pembelajaran berlangsung, guru dapat melakukan apa saja di kelas. Ia dapat
tampil sebagai sosok yang menarik sehingga mampu menebarkan virus NAch (needs
for achievement) atau motivasi berprestasi, jika kita meminjam terminologi dari
teorinya McCleland. Di dalam kelas itu seorang guru juga dapat tampil sebagai
sosok yang mampu membuat siswa berpikir divergent dengan memberikan berbagai
pertanyaan yang jawabnya tidak sekedar terkait dengan fakta, ya-tidak. Seorang
guru di kelas dapat merumuskan pertanyaan kepada siswa yang memerlukan jawaban
secara kreatif, imajinatif – hipotetik, dan sintetik (thought provoking
questions).
Sebaliknya, dengan otoritasnya di kelas yang begitu besar itu, bagi seorang
guru juga tidak menutup kemungkinan untuk tampil sebagai sosok yang membosankan,
instruktif, dan tidak mampu menjadi idola bagi siswa di kelas. Bahkan dia juga
bisa berkembang ke arah proses pembelajaran yang secara tidak sadar mematikan
kreativitas, menumpulkan daya nalar, mengabaikan aspek afektif, dan dengan
demikian dapat dimasukkan ke dalam kategori banking concept of education-nya
Paulo Friere, atau learning to have-nya Eric From. Pendek kata, untuk
melindungi kepentingan siswa, dan juga untuk mengembangkan sumber daya manusia
(SDM) di daerah dalam jangka panjang di masa depan, guru memang harus
profesional dan efektif di kelasnya masing-masing ketika ia harus melakukan
proses belajar-mengajar.
Menurut
Gary A. Davis dan Margaret A. Thomas, paling tidak ada empat kelompok besar
ciri-ciri guru yang efektif. Keempat kelompok itu terdiri dari:
Pertama, memiliki kemampuan yang terkait dengan iklim belajar di kelas, yang
kemudian dapat dirinci lagi menjadi (1) memiliki keterampilan interperso-nal,
khususnya kemampuan untuk menunjukkan empati, penghargaan kepada siswa, dan
ketulusan; (2) memiliki hubungan baik dengan siswa; (3) mampu menerima,
mengakui, dan memperhatikan siswa secara tulus; (4) menunjukkan minat dan
antusias yang tinggi dalam mengajar; (5) mampu menciptakan atmosfir untuk
tumbuhnya kerja sama dan kohesivitas dalam dan antar kelompok siswa; (6) mampu
melibatkan siswa dalam meng-organisasikan dan merencanakan kegiatan
pembelajaran; (7) mampu mendengarkan siswa dan menghargai hak siswa untuk
berbicara dalam setiap diskusi; (8) mampu meminimal-kan friksi-friksi di kelas
jika ada.
Kedua,
kemampuan yang terkait dengan strategi manajemen pembelajaran, yang meliputi:
(1) memiliki kemampuan untuk menghadapi dan menangani siswa yang tidak memiliki
perhatian, suka menyela, mengalihkan pembicaraan, dan mampu memberikan transisi
substansi bahan ajar dalam proses pembelajaran; (2) mampu bertanya atau
memberikan tugas yang memerlukan tingkatan berpikir yang berbeda untuk semua
siswa.
Ketiga,
memiliki kemampuan yang terkait dengan pemberian umpan balik (feedback) dan
penguatan (reinforcement), yang terdiri dari: (1) mampu memberikan umpan balik
yang positif terhadap respon siswa; (2) mampu memberikan respon yang bersifat
membantu terhadap siswa yang lamban belajar; (3) mampu memberikan tindak lanjut
terhadap jawaban siswa yang kurang memuaskan; (4) Mampu memberikan bantuan
profesional kepada siswa jika diperlukan.
Keempat, memiliki kemampuan yang terkait dengan peningkatan diri, terdiri dari:
(1) mampu menerapkan kurikulum dan metode mengajar secara inovatif; (2) mampu
mem-perluas dan menambah pengetahuan mengenai metode-metode pengajaran; (3)
mampu memanfaatkan perencanaan guru secara kelompok untuk menciptakan dan
mengembang-kan metode pengajaran yang relevan.
Menurut Brooks & Brooks (Iim Waliman, dkk. 2001) terdapat beberapa ciri
yang menggambarkan seorangguru yang konstruktivis dalam melaksanakan proses
pembelajaran siswa, yaitu:
1. Guru mendorong, menerima inisiatif dan kemandirian siswa.
2. Guru menggunakan data mentah sebagai sumber utama padaokus materi
pembelajaran.
3. Guru memberikan tugas-tugas kepada siswa yang terarah pada pelatihan
kemampuan mengklasifikasi, menganalisis, memprediksi, dan menciptakan.
4. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menguraikan isi pelajaran dan
mengubah strategi belajar mengajar.
5. Guru melakukan penelusuran pemahaman siswa terhadap suatu konsep sebelum
memulai pembelajaran.
6. Guru mendorong terjadinya dialog dengan dan antar siswa.
7. Guru mendorong siswa untuk berfikir, melalui pertanyaan-pertanyaan terbuka
dan mendorong siswa untuk bertanya sesama teman.
8. Guru melakukan elaborasi respon siswa siswa, baik yang sudah benar maupun
yang belum benar.
9. Guru melibatkan siswa pada pengalaman yang menimbulkan kontradiksi dengan
hipotesis siswa dan mendiskusikannya.
10. Guru memberikan waktu berfikir yang cukup bagi siswa dalam menjawab
pertanyaan
11. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencoba menghubungkan
beberapa hal yang dipelajari untuk meningkatkan pemahaman.
E. Pola Progresif dalam Belajar Mengajar
Secara umum, proses pendidikan menuju pada tiga hal pokok yang harus mampu
dicapai peserta didik, yaitu Afektif, Kognitif dan Psikomotorik. Afektif
berkaitan dengan sikap, moral, etika, akhlak, dan manajemen emosi. Kognitif
berkaitan dengan aspek pemikiran, transfer ilmu, logika, dan analisis.
Sedangkan Psikomotorik berkaitan dengan praktik atau aplikasi apa yang sudah
diperolehnya melalui jalur kognitif.
Namun disadari atau tidak, proses pendidikan di sekolah sekarang porsinya lebih
pada aspek kognitif atau transfer of knowledge saja. Salah satu hal yang kadang
dihadapi guru dalam pembelajaran adalah kurangnya minat dan motivasi peserta
didik untuk belajar di kelas. Kadangkala peserta didik mempraktikkan “ 5 D “
yaitu Datang, Duduk, Dengar, Diam, dan bahkan mungkin Dengkur.
Peserta didik kadangkala merasa “terpaksa” datang dan menghabiskan waktunya di
kelas. Apalagi apabila guru masih terbiasa untuk menjadikan peserta didiknya
pendengar yang baik karena guru masih yakin bahwa satu-satunya cara untuk
mengajar dengan cepat adalah dengan menggunakan metode ceramah. Pada kegiatan
pembelajaran Biologi mencakup dimensi ganda, yaitu proses dan produk.
Dengan demikian, peserta didik dituntut untuk melakukan kegiatan dan melakukan
intervensi logis sampai ditemukan konsep/aturan/prinsip IPA. Artinya, konsep
IPA yang diketahui peserta didik tidak sekadar ingatan semata, akan tetapi
konsepsi yang disertai alasan logis. Kesemua ini dilakukan dengan menggunakan
perangkat yang lazim disekitar peserta didik, pengalaman dan alam sekitar
melalui kegiatan/proses ilmiah.
Pada dasarnya hakikat belajar mengajar dengan pola yang lebih progresif berbeda
dengan hakikat belajar-mengajar dengan pola tradisional. Pada pola tradisional
kegiatan mengajar lebih sering diarahkan pada aliran informasi dari guru ke
peserta didik. Pandangan ini mendorong guru untuk berperan sebagai tukang ajar,
dimana diibaratkan guru sebagai orang yang mengisi air pada botol yang kosong.
Pada pola progresif makna belajar diartikan sebagai pembangunan
gagasan/pengetahuan oleh peserta didik sendiri selain peningkatan keterampilan
dan pengembangan sikap positif. Guru belum dikatakan mengajar kalau peserta
didik belum belajar. Artinya, guru baru mengajar kalau konsep materi yang
disajikan dapat menjadi bagian dari ‘struktur kognitif’ peserta didik.
Untuk mencapai tujuan ini, guru tidak cukup hanya berceramah dari menit pertama
sampai menit terakhir kegiatan belajar mengajar. Akan tetapi peserta didik
perlu dilibatkan secara aktif dalam kegiatan praktis dalam bentuk pengujian,
percobaan atau penelitian sederhana.
Sikap mental atau reaksi peserta didik bila dilibatkan secara aktif dalam
kegiatan praktis kadangkala tidak menyenangi model pembelajaran peserta didik
yang aktif, kadang ada sikap seperti “menolak” yang diungkapkan lewat sikap
acuh tak acuh bila diajak memecahkan masalah, peserta didik ingin agar
diterangkan dengan runtut, kemudian peserta didik mencatat dan kadang peserta
didik menganggap bahwa hanya dengan membaca saja mereka sudah dapat memahami
pelajaran biologi semua berakibat guru mengalami kesulitan mengembangkan
pengelolan kelas.
Di dalam kelas, guru semakin dituntut untuk mampu menciptakan suasana kelas
yang kondusif sesuai semangat KTSP. Suasana kelas harus demokratis, tidak
tegang, tetapi harus tetap tertib agar semua siswa bisa optimal dalam menyimak,
berbicara, dan mengekspresikan dirinya.
Untuk menciptakan kondisi kelas yang kondusif dalam pembelajaran (masalah
kognitif) seorang guru mesti mengerahkan semua potensi dirinya, dari segi
intelektualitas harus semakin mampu menguasai materi pembelajaran, seorang guru
juga mesti diharuskan meningkatkan masalah afektif peserta didik yang kadang
lebih banyak menghabiskan waktu dan energi bahkan memerlukan kesabaran yang
ekstra menghadapi peserta didik dengan berbagai latar belakang problematika
hidupnya.
Pendidikan menjalin aspek kognitif dengan aspek afektif sedangkan kegiatan
mengajar menjalin aspek kognitif dan psikomotor. Dalam praktek evaluasinya
kegiatan pengajaran sering terbatas targetnya pada aspek kognitif.Maka
pendidikan bukan hanya transfer of knowledge tetapi juga transfer of value.
Sehingga perilaku guru sebagai pendidik yang perlu dikembangkan adalah sebagai
mitra peserta didik, disiplin permisif, berdialog dengan pikiran
kritis,melakukan dialektika budaya lama dengan nilai-nilai budaya modern,
memberikan kesempatan kreatif, berproduksi, dan berperilaku sehari-hari yang
positif terhadap peserta didik.
Setiap pendidikan bertujuan menunaikan nilai yang terbaik bagi peserta didik
dan pendidik. Bahkan pengajaran yang baik sebagai bagian dari pendidikan selain
memerlukan proses dan alasan rasional intelektual juga terjalin alasan yang
bersifat moral.
F. Psikologi problematika belajar
PENGERTIAN PROBLEMA BELAJAR (Pembelajaran)
Belajar adalah mencari ilmu atau menuntut ilmu.
Menurut Walker dalam bukunya Conditioning an Instrumental Learning (1967):
belajar : “Perubahan perbuatan sebagai akibat dari pengalaman”
Menurut C.T. Morgan, dalam Introduction to Psychology (1961: belajar adalah
suatu perubahan yang relative menetap dalam tingkah laku sebagai akibat atau
hasil dari pengalaman yang lalu”.
G. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BELAJAR
Dibedakan menjadi tiga macam, yakni :
1. Faktor Internal Siswa
Meliputi dua aspek, yakni :
1) Aspek Fisiologis (yang bersifat jasmaniah)
Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat kebugaran
organ-organ tubuh dan sendi-sendinya, dapat mempengaruhi semangat dan
intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran.
2) Aspek psikologis (yang bersifat rohaniah)
Meliputi:
a) Tingkat kecerdasan/intelegensi siswa
Menurut (Reber, 1988) bahwa intelegensi diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik
untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara
yang tepat.
b) Sikap siswa
Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk
mereaksi atau merespons (response tendency) dengan cara yang relative tetap
terhadap objek orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun
negatif.
c) Bakat siswa
Menurut (Chaplin, 1972; Reber, 1988) bahwa bakat (aptitude) adalah kemampuan
potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang
akan datang.
d) Minat siswa
Minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau
keinginan yang besar terhadap sesuatu. Menurut Reber (1988), minat tidak
termasuk istilah popular dalam psikologi karena ketergantungannya yang banyak
pada faktor-faktor internal lainnya, seperti pemusatan perhatian,
keingintahuan, motivasi, dan kebutuhan.
e) Motivasi siswa.
f) Merupakan keadaan internal organisme baik manusia ataupun hewan yang
mendorongnya untuk berbuat sesuatu (pemasok daya).
Motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
(1) Motivasi intrinsik: Hal dan keadaan yang berasal dari dalam diri siswa
sendiri yang mendorongnya untuk belajar.
(2) Motivasi ekstrinsik: Hal dan keadaan yang datang dari luar individu siswa
yang juga mendorongnya untuk belajar.
2. Faktor Eksternal Siswa
Terdiri atas dua macam yaitu:
a. Lingkungan Sosial
Para guru, para staf administrasi, dan teman-teman sekelas yang dapat
mempengaruhi semangat belajar seorang siswa.
b. Lingkungan Nonsosial
Gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal keluarga siswa dan letaknya,
alat-alat belajar, keadaan cuaca, dan waktu belajar yang digunakan siswa.
3. Faktor Pendekatan Belajar
Merupakan cara atau strategi yang digunakan siswa
dalam menunjang keefektifan dan efisiensi proses mempelajari materi tertentu.
Strategi dalam hal ini berarti seperangkat langkah operasional yang direkayasa
sedemikian rupa untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan belajar tertentu.
H. KESULITAN BELAJAR
1. Faktor Penyebab Kesulitan Belajar
a. Faktor Intern Siswa
Meliputi gangguan atau kekurang mampuan psiko-fisik siswa, yakni :
rendahnya kapasitas intelektual/inteligensi siswa ;1) yang bersifat kognitif
(ranah cipta)
labilnya emosi dan sikap ; 2) yang bersifat afektif (ranah rasa)
terganggunya alat-alat indera penglihat dan pendengar (mata dan telinga). yang
bersifat psikomotor (ranah karsa)Ã 3)
b. Faktor Ekstern Siswa
Meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung
aktivitas belajar siswa.
Faktor lingkungan ini terdiri dari:
1) Lingkungan keluarga
2) Lingkungan masyarakat
3) Lingkungan sekolah.
2. Diagnosis Kesulitan Belajar
1) Melakukan observasi kelas
2) Memeriksa penglihatan dan pendengaran siswa khususnya yang diduga mengalami
kesulitan belajar
3) Mewawancarai orang tua atau wali siswa
4) Memberikan tes diagnostik bidang kecakapan tertentu
5) Memberikan tes kemampuan intelegensi (IQ).
3. Kiat Mengatasi Kesulitan Belajar
a. Menganalisa hasil diagnosis
b. Mengidentifikasi dan menentukan bidang kecakapan tertentu yang memerlukan
perbaikan ;
c. Menyusun program perbaikan, khususnya program remedial teaching (pengajaran
perbaikan).
I. JENIS-JENIS BELAJAR
Berdasarkan tujuan dan hasil, jenis-jenis belajar
terdiri dari:
1. Belajar Abstrak (Abstract Learning)
Tujuan: memperoleh pemahaman serta pemecahan yang tidak nyata.
Peranan akal atau rasio, penguasaan atas prinsip-prinsip dan konsep-konsep
sangatlah penting.
2. Belajar Keterampilan (Skill Learning)
Tujuan: memperoleh keterampilan tertentu dengan menggunakan gerakan-gerakan
motorik.
Proses pelatihan yang intensif dan teratur sangat diperlukan.
3. Belajar Sosial (Social Learning)
Tujuan memperoleh keterampilan dan pemahaman terhadap masalah-masalah sosial,
penyesuaian terhadap nilai-nilai sosial dan sebagainya.
4. Belajar Pemecahan Masalah (Problem Solving)
Tujuan: memperoleh keamampuan atau kecakapan kognitif guna memecahkan masalah
secara tuntas.
Kemampuan individu dalam menguasai berbagai konsep, prisip, serta generalisasi,
amat diperlukan.
5. Belajar Rasional (Rational Learning)
Tujuan: memperoleh beragam kecakapan menggunakan prinsip-prinsip dan
konsep-konsep.
Individu diharapkan memiliki kemampuan memecahkan masalah dengan menggunakan
pertimbangan dan strategi akal sehat, logis, dan sistematis.
6. Belajar Kebiasaan (Habitual Learning)
Tujuan: agar individu memperoleh sikap dan kebiasaan yang lebih tepat dan lebih
positif, dan selaras dengan kebutuhan ruang dan waktu.
7. Belajar Apresiasi (Apreciation Learning)
Tujuan: agar individu memperoleh dan mengembangkan kecakapan ranah rasa
(effective skills).
8. Belajar Pengetahuan (Study)
Tujuan: memperoleh atau menambah informasi dan pemahaman terhadap pengetahuan
tertentu.
Berdasarkan cara atau proses yang ditempuh dalam belajar, jenis-jenis belajar
sebagai berikut:
1. Belajar Berdasarkan Pengamatan (Sensory Type of Learning)
2. Belajar berdasarkan Gerak (Motor Type of Learning)
3. Belajar Berdasarkan Menghafal (Memory Type of Learning)
4. Belajar Berdasarkan Pemecahan Masalah (Problem Solving Type of Learning)
5. Belajar Berdasarkan Emosi (Emotional Type of Learning)
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Dalam proses belajar mengajar kepribadian guru
sebagai faktor yang sangat penting dan sangat berpengaruh terhadap para siswa
2. Guru yang baik adalah guru yang waspada secara profesional, memperbaiki dan
meningkatkan mutu pekerjaannya lebih matang, memiliki nilai seni dan
berkeinginan untuk tumbuh
3. Belajar adalah perubahan tingkah laku yang meliputi pengetahuan, kecakapan,
pengertian, sikap, keterampilan dan sebagainya
4. Banyak perilaku siswa yang perlu dipahami dan dilayani secara bijaksana oleh
guru
5. Bimbingan merupakan suatu proses memberi bantuan kepada individu agar
individu dapat mengenal dirinya dan dapat memecahkan masalah-masalah hidupnya
sendiri sehingga ia dapat menikmati hidup dengan bahagia
B. Saran
1. Kepada guru agar dapat membina siswa dengan penuh semangat dan tangungjawab
yang tinggi dengan menuggunakan teknik-teknik pembinaan yang bersifat agar para
siswa tidak bosan dalampembelajaran
2. Kepada siswa agar dapat meningkatkan kemampuannya melalui proses
pembelajaran
3. Kepada siswa agar dapat mempertahankan tinkat kecerdasan emosionalnya
DAFTAR PUSTAKA
Hamalik, oemar 1990. Psikologi belajar dan
mengajar. Bandung. Sinar Baru Algensindo
Harsono. 1988. Choaching dan aspek-aspek
psikologis dalam choaching jakarta. C.V. Tambak Kusuma
Nur, Masjumi. 2008. Dasar-dasar pendidikan
jasmani, Makassar FIK UNM
Surya brata, Sumadi 2002. Psikologi kepribadian,
Jakarta.PT Raja Grafindo Persada
Suryabrata, Sumadi. 1990.Psikologi Perkembangan
Yogjakarta, Rake Sarasin
fektif/
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belajar mengajar adalah suatu kegiatan yang bernilai edukatif. Nilai edukatif mewarnai
interaksi yang terjadi antara guru dengan anak didik. Interaksi yang bernilai
edukatif dikarenakan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan, diarahkan untuk
mencapai tujuan tertentu yang telah dirumuskan sebelum pengajaran dilakukan.
Guru dengan sadar merencanakan kegiatan pengajarannya secara sistematis dengan
memanfaatkan segala sesuatunya guna kepentingan pengajaran.
Keragaman potensi siswa, maka metode kerja kelompok mempunyai andil yang cukup
besar dalam kegiatan belajar mengajar. Kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki
anak didik, akan ditentukan oleh relevansi penggunaan metode yang sesuai dengan
tujuan, sehingga tujuan pembelajaran akan dapat tercapai sesuai dengan standar
keberhasilan yang tercantum di dalam suatu indikator. Salah satu faktor yang
menyebabkan peserta didik kurang berminat dan mengalami kesulitan dalam belajar
Sains adalah penggunaan strategi dan metode mengajar yang monotones dan kurang
tepat.
Guru merupakan kunci dalam pembelajaran, keberhasilan anak didik dalam belajar
ditentukan oleh peran guru dalam mengolah kegiatan belajar mengajar. Bahkan
kajian mata pelajaran Sains di SMP merupakan pengembangan dari bahan kajian
Sains di SD yang diperluas sampai kepada bahan kajian yang mengandung konsep
abstrak dan dibahas secara kuantitatif. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa
pelaksanaan proses pembelajaran yang ditemukan di sekolah-sekolah adalah banyak
pengajaran Sains yang terbatas pada produk atau fakta, konsep dan teori saja,
serta masih dilaksanakan secara tradisional.
Pelaksanaan pembelajaran Sains masih belum sesuai dengan tuntutan kurikulum,
yaitu mengembangkan keterampilan proses untuk memperoleh konsep-konsep sains
dalam menumbuhkan nilai dan sikap ilmiah (Nur, 1998:2). Fakta lain ditemukan
bahwa pembelajaran sains kurang melaksanakan kerja kelompok dan diskusi. Hal
ini mencerminkan pembelajaran sains umumnya pasif dan cenderung berpusat pada
guru. Pembelajaran dengan menggunakan metode kerja kelompok diharapkan akan
meningkatkan hasil belajar siswa, kemampuan guru mengelola kegiatan belajar
mengajar sudah dapat mengubah dari pembelajaran yang berpusat kepada guru
pembelajaran yang berpusat pada anak didik.
Menurut Kartika dalam Drost (1998 : 168), bahaw keterampilan proses sains akan
terbentuk hanya melalui rposes kerja kelompok yang berulang-ulang. Anak didik
tidak akan mampu menerapkan konsep, terampil berkomunikasi, terampil mengajukan
pertanyaan, jika tidak ada peluang untuk mengembangkan
keterampilan-keterampilan tersebut. Peluang saja tidak cukup, tanpa
direalisasikan. Anak didik harus menggunakan peluang itu untuk melakukan
sedniri proses secara terus menerus dalam bentuk kelompok. Berangkat dari
beberapa pandangan tersebut di atas, maka dalam kegiatan pembelajaran salah
satu upaya yang dapat dilakukan guru agar siswa dapat belajar dengan aktif
adalah dengan menyusun program pembelajaran yang baik, sebab dengan perencanaan
dan program pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa dalam kegiatan belajar
dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Prestasi belajar siswa ditandai
dengan perubahan perilaku dan hasil belajar. Oleh karena itu salah satu metode
guru yang dapat digunakan dalam meningkatkan prestasi belajar sains adalah
dengan penggunaan metode kerja kelompok.
Kegiatan pembelajaran sains yang dilaksanakan di SD 11 Batubassi Kabupaten
Maros menggunakan metode ceramah yang sangat monoton sehingga aktivitas belajar
siswa sangat minim. Hasil observasi yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa
rata-rata kelas pada mata pelajaran sains siswa kelas III Tahun ajaran
2005/2006 adalah 5,5 yaitu masih tergolong ke dalam kategori rendah. Selain
itu, siswa cenderung pasif dan tidak saling membantu dalam kegiatan
pembelajaran. Oleh karena itu, dilakukan suatu penelitian tentang peningkatan
hasil belajar sains melalui penggunaan metode kerja kelompok siswa kelas III di
SD 11 Batubassi Kabupaten Maros.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah “Apakah ada
peningkatan hasil belajar sains melalui penggunaan metode kerja kelompok siswa
kelas III di SD 11 Batubassi Kabupaten Maros”?
C. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya
peningkatan hasil belajar sains melalui metode kerja kelompok siswa kelas III
SD 11 Batubassi Kabupaten Maros.
D. Manfaat Hasil Penelitian
Hasil-hasil yang diperoleh melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat kepada para guru, siswa dan masyarakat yang terkait dengan dunia
pendidikan. Manfaat tersebut adalah sebagai berikut :
a. Sebagai bahan acuan bagi guru dalam menyusun perangkat pembelajaran yang
sesuai dengan karekteristik materi untuk dipergunakan dalam pembelajaran sains
di SD 11 Batubassi Kabupaten Maros yang menerapkan metode kerja kelompok.
b. Sebagai bahan kajian bagi guru dalam menyusun dan dapat menjadi bahan
perbandingan bagi guru sains dalam membuat perangkat pembelajaran untuk
berbagai standar kompetensi dan kompetensi dasar, baik dengan menerapkan
strategi kerja kelompok maupun menerapkan strategi-strategi lainnya.
c. Sebagai rujukan bagi pihak lain yang ingin melakukan penelitian sejenis
dengan kondisi sosio-ekonomi yang sama dengan SD 11 Batubassi Kabupaten Maros.
d. Karena pada tahap-tahap strategi kerja kelompok terdapat tahap berpikir
bersama (diskusi), sehingga dengan menggunakan strategi kerja kelompok dapat
menjadi wahana bagi siswa untuk menumbuhkembangkan semangat kerja sama dan
meningkatkan kepekaan sosial diantara mereka.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Tinjauan Pustaka
1. Konsep Belajar Sains
Gambaran pembelajaran sains menurut Kurikulum 2004 dan Nur (2001:3) Menurut
Kurikulum 2004 bahwa sains meliputi dua hal, yaitu sains sebagai produk dan
sains sebagai proses (Depdiknas, 2003:6). Produk sains terdiri atas fakta,
konsep, prinsip, teori, dan hukum. Sedangkan proses sains meliputi
keterampilan-keterampilan dan sikap-sikap yang dimiliki para ilmuwan untuk
memperoleh dan mengembangkan pengetahuan sains.
Menurut Nur (2001:3), pembelajaran sains merupakan sesuatu yang dilakukan
siswa, bukan sesuatu yang dilakukan untuk siswa. Pembelajaran sains harus
melibatkan siswa dalam penyelidikan-penyelidikan berorientasi inkuiry. Di dalam
kegiatan itu, mereka dapat berinteraksi dengan guru dan teman mereka. Siswa
mengemukakan hubungan antara pengetahuan sains yang telah mereka miliki dan penentuan
ilmiah yang ditemukan dalam banyak sumber, mereka menerapkan isi, konsep sains
pada pertanyaan-pertanyaan baru. Mereka terlibat dalam pemecahan masalah,
perencanaan, pengambilan keputusan, dan diskusi kelompok, mereka mengalami
penelitian dan evaluasi yang konsisten dengan pendekatan aktif dalam belajar
tersebut.
Guru seharusnya memperhatikan dua hal penting dalam pembelajaran sains.
Pertama, keterampilan-keterampilan proses dalam pembelajaran, hendaknya
mendapat perhatian secara proporsional dari para penyelenggara pendidikan
terutama guru. Menurut Kartiak (Drost, 1998:169), keterampilan proses sains
akan terbentuk hanya melalui proses berulang-ulang. Siswa akan terampil
berkomunikasi jika dilakukan terus-menerus. Kedua, guru menggunakan strategi pembelajaran
yang memberi kesempatan kepada siswa untuk lebih aktif melakukan sesuatu untuk
memperoleh produk sains. Karena itu dalam belajar sains dibutuhkan pendekatan
yang menumbuhkembangkan kemampuan-kemampuan untuk menggunakan keterampilan
proses (Nur, 2002:3).
2. Metode Kerja Kelompok
Kegiatan belajar mengajar terkadang guru menggunakan metode mengajar secara
bervariasi, termasuk metode kerja kelompok. Metode kerja kelompok memang suatu
waktu diperlukan dan perlu digunakan untuk membina dan mengembangkan sikap
sosial anak didik. Hal ini didasari bahwa anak didik adalah jenis makhluk homo
socius, yakni makhluk yang berkecenderungan untuk hidup bersama. Metode kerja
kelompok, diharapkan dapat ditumbuhkembangkan rasa sosial yang tinggi pada diri
setiap anak didik. Peserta didik dibina untuk mengendalikan rasa egois yang ada
dalam diri mereka, sehingga terbina sikap kesetiakawanan sosial di kelas.
Peserta didik sadar bahwa hidup ini saling ketergantungan, seperti ekosistem
dalam mata rantai kehidupan semua makhluk hidup di dunia. Tidak ada makhluk
yang terus menerus berdiri sendiri tanpa keterlibatan makhluk lain, langsung
atau tidak langsung, didasari satau tidak, makhluk lain itu ikut ambil bagian
dalam kehidupan makhluk tertentu (Winarno, 1995).
Anak didik dibiasakan hidup bersama, bekerja sama dalam kelompok, akan
menyadari bahwa dirinya ada kekurangan dan kelebihan. Anak yang memiliki
kelebihan dengan ikhlas mau membantu mereka yang mempunyai kekurangan.
Sebaliknya, mereka yang mempunyai kekurangan dengan rela hati mau belajar dari
mereka yang mempunyai kelebihan, tanpa ada rasa minder. Persaingan yang positif
pun terjadi di kelas dalam rangka untuk mencapai hasil belajar yang optimal.
Inilah yang diharapkan, yakni anak didik yang aktif, kreatif, dan mandiri.
Ketika guru ingin menggunakan metode kerja kelompok, maka guru harus sudah
mempertimbangan bahwa hal itu tidak bertentangan dengan tujuan, fasilitas
belajar pendukung, metode yang akan dikapai sudah dikuasai, dan bahan yang akan
diberikan kepada anak didik memang cocok disajikan dengan metode kerja
kelompok. Karena itu, metode kerja kelompok tidak bisa dilakukan secara
sembarangan, tetapi harus mempertimbangkan hal-hal lain yang ikut mempengaruhi
penggunaannya (Suryosubroto, 1998).
Keakraban yang berhubungan dengan kelompok ditentukan oleh tarikan-tarikan
interpersonal, atau saling menyukai satu sama lain, yang memiliki kecenderungan
menanamkan keakraban sebagai tarikan kelompok adalah satu-satunya faktor yang
menyebabkan kelompok bersatu. Keakraban kelompok ditentukan oleh beberapa
faktor, yaitu: perasaan diterima atau disukai teman-teman, tarikan kelompok,
teknik pengelompokan oleh guru, partisipasi/ keterlibatan dalam kelompok,
penerimaan tujuan kelompok dan persetujuan dalam cara mencapainya, struktur dan
sifat-sifat kelompok. Sedang sifat-sifat kelompok itu adalah: suatu multi
personalia dengan tingkatan keakraban tertentu, suatu sistem interaksi, suatu
organisasi atau struktur, merupakan suatu motif tertentu dan tujuan bersama,
merupakan suatu kekuatan atau standar perilaku-perilaku tertentu, dan pola
perilaku yang dapat diobservasi yang disebut kepribadian (Suryosubroto, 1998).
3. Tinjauan Hasil Belajar
Proses belajar mengajar dapat dikatakan berhasil, setiap guru memiliki
pandangan masing-masing sejalan dengan filsafatnya. Perlu dipahami bahwa setiap
proses belajar mengajar termasuk dengan menggunakan metode kerja kelompok
selalu menghasilkan hasil belajar. Masalah yang dihadapi adalah sampai di
tingkat mana prestasi (hasil) belajar yang telah dicapai dengan menggunakan
metode tertentu. Sehubungan dengan hal inilah keberhasilan proses belajar
mengajar itu dibagi atas beberapa tingkatan atau taraf. Tingkatan keberhasilan
tersebut adalah sebagai berikut : Istimewa/maksimal; apabila sebagian besar
(76% s.d 99%) bahan pelajaran yang diajarkan dapat dikuasai oleh siswa,
baik/minimal; apabila bahan pembelajaran yang diajarkan kurang dari 60%
dikuasai oleh siswa.
Hasil belajar tersusun dari dua kata yaitu “Hasil” dan “Belajar”. Hasil pada
dasarnya adalah suatu yang diperoleh dari suatu aktivitas. Sedangkan belajar
menurut Sudjana (2001:11) adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya
perubahan pada diri seseorang. Perubahan ini sebagai hasil proses belajar
ditunjukkan dalam bentuk perubahan pengetahuan, pemahaman, perubahan sikap dan
tingkah laku, serta perubahan pada aspek-aspek lain yang ada pada individu yang
belajar. Hasil belajar dapat diketahui setelah diadakan evaluasi sesuai dengan
tujuan instruksional yang telah dirumuskan. Menurut Djamarah (1996:28) yang
menjadi petunjuk bahwa suatu proses belajar mengajar dianggap berhasil adalah :
daya serap siswa terhadap bahan pengajaran yang diajarkan mencapai prestasi
tinggi, baik secara individu maupun kelompok dan perilaku yang digariskan dalam
indikator pembelajaran yang harus dicapai oleh siswa baik secara individu
maupun kelompok.
Hasil belajar untuk mengukur keberhasilan siswa yang berkaitan dengan
aspek-aspek kognitif psikomotorik, dan apektif. Hasil belajar siswa dalam
bidang studi tertentu dapat diketahui dengan jalan melakukan pengukuran yang
dikenal dengan istilah pengukuran hasil belajar. Pengukuran hasil belajar
menurut Sudjana (2001) ialah suatu tindakan atau kegiatan untuk melihat sejauh
mana tujuan-tujuan instruksional dapat dicapai atau dikuasai oleh siswa setelah
menempuh pengalaman belajaranya (proses belajar mengajar).
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah
sesuatu yang diperoleh seseorang setelah mengikuti proses belajar. Untuk
mengetahui proses belajar siswa, maka guru menggunakan alat ukur evaluasi
berupa tes hasil belajar. Dengan menggunakan tes maka guru bisa mengetahui
tingkat keberhasilan dan penguasaan siswa terhadap pelajaran sehingga dapat
memberikan acuan kepada guru tindakan apa yang akan dilakukan pada keperluan
selanjutnya.
B. Kerangka Pikir
Salah satu upaya untuk memperoleh sumber daya manusia yang berkualitas adalah
dengan meningkatkan mutu pendidikan. Upaya peningkatan mutu pendidikan selama
ini telah dilakukan oleh pihak sekolah, utamanya guru yang bertindak sebagai
tenaga pendidik. Upaya-upaya yang telah dilakukan adalah pembaharuan kurikulum,
seminar pendidikan, penggunaan media pendidikan dalam mengajar, dan penyediaan
buku-buku pelajaran bagi siswa secara gratis, namun hal tersebut memberikan
hasil yang maksimal terhadap hasil belajar siswa. Oleh karena itu, guru mencoba
menerapkan metode kerja kelompok dengan tujuan agar hasil belajar siswa dapat
meningkat.
Kegiatan belajar mengajar yang mampu meningkatkan hasil belajar siswa adalah
tugas dan tanggung jawab guru sebagai tenaga pendidik. Guru diharapkan dapat
memilih dan menggunakan metode mengajar yang sesuai dengan konsep yang
dibawakan dan harus relevan dengan psikologis anak, sehingga minat dan motivasi
serta hasil belajar siswa dapat meningkat. Metode pengajaran kerja kelompok
jarang digunakan oleh guru, utamanya pada bidang studi sains, karena adanya
keterbatasan waktu dan kesulitan mengontrol aktivitas siswa, padahal jika
dilaksanakan sesuai dengan prosedur, metode mengajar ini dapat ditingkatkan.
Adanya metode kerja kelompok, diharapkan agar hasil belajar siswa dapat
meningkat.
Penerapan metode kerja kelompok perlu dilaksanakan karena dari hasil observasi
didapatkan data bawah selama ini guru mengajar dengan menggunakan metode yang
monoton yaitu ceramah. Metode ceramah hanya mengaktifkan guru, sedangkan siswa
hanya mendengarkan saja. Untuk menghilangkan sifat pasif siswa selama ini, maka
diperlukan suatu metode mengajar yang cocok untuk mengaktifkan siswa dalam
berbicara maupun memecahkan suatu masalah secara bersama. Adanya interaksi
belajar akan membangkitkan semangat dan minat belajar sehingga dapat
mengoptimalkan hasil belajar siswa.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Variabel Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang meliputi (1)
perencanaan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) observasi dan evaluasi, (4)
refleksi.
2. Variabel Penelitian
Variabel penelitian didefinisikan sebagai salah satu simbol atau atribut yang
mengungkapkan beberapa konsep. Keberadaan variabel ini akan mempermudah
mengamati objek yang diteliti. Di dalam penelitian ini variabel yang akan
diamati adalah metode kerja kelompok sebagai variabel bebas, dan hasil belajar
sains peserta didik sebagai variabel terikat.
B. Definisi Operasional Variabel
Untuk menghindari terjadinya penafsiran yang berbeda mengenai konsep atau
istilah yang digunakan di dalam penelitian ini, maka perlu diberikan batasan
tentang variabel-variabel yang diamati.
1. Metode kerja kelompok adalah salah satu metode pembelajaran yang digunakan
dalam pembelajaran sains yang turut membantu penyampaian proses belajar
mengajar di mana siswa diharuskan untuk bekerja secara berkelompok, tiap
kelompok berjumlah 4 orang siswa.
2. Hasil belajar adalah nilai yang telah dicapai oleh siswa setelah mengikuti
suatu proses pembelajaran yang diperoleh dari tes hasil belajar.
C. Subyek Penelitian
Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas III SD 11 Batubassi Kabupaten
Maros pada tahun pembelajaran 2007/2008 yang berjumlah 28 orang siswa.
D. Prosedur Penelitian
Penelitian tindakan ini dilaksanakan dalam 2 (dua) siklus, yaitu siklus I dan
siklus II. Sebelum penerapan tindakan pada siklus pertama, terlebih dahulu
dilakukan observasi awal untuk memperoleh model dan format penerapan tindakan
pada siklus I. sedangkan tindakan yang diterapkan pada siklus II adalah
ditentukan berdasarkan hasil refleksi dan analisis data pada siklus I.
Sesuai dengan hakekat penelitian tindakan kelas, maka prosedur pelaksanaan
penelitian untuk masing-masing siklus melalui beberapa tahap, yaitu (a)
perencanaan, (b) pelaksanaan tindakan, (c) observasi dan evaluasi, serta (d)
refleksi.
Prosedur pelaksanaan penelitian secara terperinci adalah sebagai berikut :
a. Siklus Pertama
1) Perencanaan
Adapun kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah :
a) melakukan observasi awal untuk menemukan model dan format penerapan tindakan
pada siklus I.
b) Membuat skenario pembelajaran sesuai dengan metode yang dipergunakan beserta
topik atau tema yang akan diberikan pada masing-masing siswa berdasarkan pokok
bahasan yang dipelajari
c) Membuat lembar observasi untuk mengamati proses pembelajaran selama
menerapkan tindakan, yang meliputi keaktifan belajar siswa.
2) Pelaksanaan Tindakan
Kegiatan yang dilaksanakan pada tahap ini adalah melaksanakan pembelajaran
sesuai dengan skenario pembelajaran yang telah disusun. Sekali lagi, skenario
pembelajaran harus menonjolkan metode kerja kelompok.
3) Observasi dan evaluasi
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah :
Melaksanakan observasi terhadap pelaksanaan tindakan secara khusus dan proses
pembelajaran secara umum dengan menggunakan lembar observasi yang telah
disiapkan. Observasi dilaksanakan selama proses pembelajaran berlangsung
keaktifan belajar siswa.
4) Refleksi
Refleksi dilakukan berdasarkan hasil analisis data, baik data hasil observasi
maupun data hasil evaluasi. Refleksi ini dilakukan dengan tujuan untuk menilai
apakah tindakan pembelajaran dengan penggunaan metode kerja kelompok sudah
berjalan secara optimal dan apakah dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa.
b. Siklus Kedua
Secara garis besar kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada setiap tahap dalam
siklus II adalah sama dengan kegiatan-kegiatan pada siklus I. perubahan yang
mendasar adalah pada jenis tindakan yang diberikan. Sebagaimana sudah
dikemukakan sebelumnya, bahwa rencana tindakan pada siklus II disusun
berdasarkan hasil refleksi dan analisis data pada siklus I. untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada bagan di bawah ini.
Gambar 1. Bagan Pelaksanaan Penelitian Tindakan
Kelas.
E. Teknis Pengumpulan Data
Data diperoleh adalah data kuantitatif yaitu data tentang hasil belajar siswa.
Selain itu, diambil pula data yang bersifat kualitatif yaitu aktivitas belajar
siswa selama berlangsungnya kegiatan pembelajaran dengan metode kerja kelompok
yang meliputi : mendengarkan penjelasan guru, membaca materi, menulis materi
penting, berdiskusi dengan teman, mengamati kerja kelompok, menganggu teman,
mengerjakan latihan, dan mengumpulkan tugas.
F. Teknis Analisis Data
Sesuai dengan jenis data yang akan dikumpulkan, maka analisis data penelitian
dilakukan dalam dua macam yaitu analisis kualitatif dan analisis kuantitatif.
Analisis kualitatif diberlakukan pada data hasil observasi terhadap kegiatan
pembelajaran dengan metode kerja kelompok. Sedangkan analisis kuantitatif
diberlakukan pada data tentang hasil belajar siswa dalam kegiatan pembelajaran.
Adapun pengkategorian hasil belajar siswa yang digunakan dapat dilihat pada
tabel 1 berikut.
Tabel 1. Kriteria penilaian hasil belajar menurut Arikunto (2001)
Internal Nilai Pengkategorian
81 – 100
66 – 80
56 – 65
46 – 55
0 – 45 Sangat Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat rendah
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Data hasil penelitian memperlihatkan bahwa nilai tertinggi yang diperoleh siswa
kelas III SD Negeri 11 Batubassi Kabupaten Maros, yang mengikuti pembelajaran
Sains melalui metode kerja kelompok pada siklus I adalah 80, nilai terendah
33,3 dan nilai rata-rata 55,26.
Data hasil penelitian ini juga memperlihatkan bahwa nilai tertinggi yang
diperoleh siswa kelas III SD Negeri 11 Batubassi Kabupaten Maros yang mengikuti
pembelajaran sains melalui metode kerja kelompok pada siklus II adalah 86,7,
nilai terendah 53,3; dan nilai rata-rata 70,7.
Nilai keseluruhan yang diperoleh siswa, jika dikelompokkan ke dalam lima
kategori, maka distribusi frekuensi dan persentase kategori hail belajar sains
siswa kelas III SD Negeri 11 Batubassi Kabupaten Maros, melalui metode kerja
kelompok pada siklus I, menunjukkan rata-rata hasil belajar yang lebih rendah
bila dibandingkan dengan rata-rata nilai yang diperoleh siswa pada siklus II.
Untuk lebih jelasnya, distribusi frekuensi dan persentase kategori hasil
belajar siswa dapat dilihat pada tabel 2 berikut.
Tabel 2. Distribusi frekuensi dan persentase
kategori hasil belajar sains siswa kelas III SD Negeri 11 Batubassi Kabupaten
Maros melalui metode kerja kelompok siklus I dan siklus II.
Interval
Nilai Kategori Jumlah Siswa Persentase (%)
Siklus I Siklus II Siklus I Siklus II
81 – 100 Sangat Tinggi 0 4 0 14,29
66 – 80 Tinggi 5 17 17,86 60,71
56 – 65 Sedang 6 6 21,43 21,43
46 – 55 Rendah 15 1 53,57 3,57
0 – 45 Sangat Rendah 2 0 7,14 0
Jumlah 28 28 100 100
Tabel 2. Menunjukkan bahwa dari 28 siswa kelas III
SD Negeri 11 Batubassi Kabupaten Maros yang mengikuti pembelajaran sains
melalui metode kerja kelompok pada siklus I terdapat 0% siswa yang memperoleh
nilai yang berada pada kategorikan sangat tinggi; 17,86% dikategorikan tinggi;
21,43% dikategorikan sedang; 53,57 % dikategorikan rendah dan 7,14%
dikategorikan sangat rendah. Sedangkan dari 28 siswa yang mengikuti
pembelajaran sains melalui metode kerja kelompok pada siklus II yaitu 14,29%
dikategorikan sangat tinggi; 60,71 % dikategorikan tinggi; 21,43% dikategorikan
seadng; 3,57% dikategorikan rendah dan 0% dikategorikan sangat rendah. Hasil di
atas menunjukkan bahwa hasil belajar siswa yang belajar melalui metode kerja
kelompok mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II.
Aktivitas siswa yang diajar dengan menggunakan metode kerja kelompok,
memperlihatkan adanya peningkatan dari siklus I ke siklus II. Siklus I
merupakan awal kegiatan pembelajaran dengan menggunakan kerja kelompok,
sehingga ada beberapa aktivitas siswa yang tidak terlaksana secara maksimal,
misalnya mendengarkan penjelasan guru, menulis materi penting, berdiskusi
dengan teman, bahkan pada pertemuan pertama siklus I frekuensis siswa yang
menganggu teman, bahkan pada pertemuan pertama siklus I frekuensi siswa yang
menganggu teman saat belajar masih tinggi dan masih ditemukan siswa yang tidak
mengumpulkan tugas diakhir PBM.
Hasil observasi aktivitas belajar siswa saat diajar dengan menggunakan metode
kerja kelompok, mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II. Adapun
aktivitas belajar siswa yang diamati oleh guru dan observer pada siklus I dan
siklus II dapat dilihat pada tabel 3 berikut.
Tabel 3. Hasil pengamatan aktivitas belajar siswa pada siklus I dan siklus II
yang diajar dengan menggunakan metode kerja kelompok.
No Aktivitas Siswa Frekuensi Persentase (%)
Siklus I Siklus II Siklus I Siklus II
1 Mendengarkan penjelasan guru/teman 23 28 82,1 100
2 Membaca materi pelajaran 23 27 82,1 96,4
3 Menulis materi penting 23 27 82,1 96,4
4 Berdiskusi dengan teman 20 28 71,4 100
5 Mengamati kerja kelompok 23 28 82,1 100
6 Menganggu teman yang sedang belajar 5 1 17,9 3,6
7 Mengerjakan latihan yang diberikan oleh guru 23 28 82,1 100
8 Mengumpulkan tugas. 23 28 82,1 100
Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa ada peningkatan
aktivitas belajar siswa dari siklus I ke siklus II. Pada siklus I terdapat
82,1% siswa yang aktif mendengarkan penjelasan guru/teman; 82,1 % siswa yang
aktif membaca materi pelajaran; 82,1 siswa yang aktif menulis materi penting;
71,4% siswa yang aktif berdiskusi; 82,1 siswa yang aktif mengamati media gambar
yang dipasang oleh guru saat mengajar; 17,9% siswa yang menganggu temannya saat
belajar; 82,1% siswa yang aktif mengerjakan tugas; dan 82,1% siswa yang
mengumpulkan tugas diakhiri PBM.
Tabel 3 juga menunjukkan bahwa pada siklus II terjadi peningkatan aktivitas
belajar siswa yaitu terdapat 100% siswa yang mendengarkan penjelasan
guru/teman; 96,4% siswa yang aktif membaca materi pelajaran; 96,4 siswa yang
aktif menulis materi penting; 100% siswa yang aktif berdiskusi; 100 siswa yang
aktif mengamati media gambar yang dipasang oleh guru saat mengajar; 3,6% siswa
yang menganggu temannya saat belajar; 100% siswa yang aktif mengerjakan tugas;
dan 100% siswa yang mengumpulkan tugas di akhir PBM.
1. Refleksi Siklus I
Refleksi pada siklus I terlihat bahwa tiap kelompok belum menunjukkan kerjasama
yang baik antar sesama anggota kelompok pada saat berdiskusi. Hal ini
dikarenakan siswa yang baru bertemu dalam satu kelompok, sehingga perlu
adaptasi dengan karakter anggota kelompok, saat guru menerangkan di depan
kelas, ada beberapa orang siswa yang kurang serius dalam mendengarkan
penjelasan guru. Hal ini disebabkan oleh aktivitas lain yang dilakukan oleh
siswa seperti belajar dengan mata pelajaran lain, siswa saling berbicara dengan
anggota kelompoknya, dan ada siswa yang sengaja menganggu teman kelompoknya.
Saat kegiatan diskusi berlangsung, sebagian siswa tidak aktif dalam
mendengarkan pendapat temannya, mereka sibuk sendiri dengan teman kelompoknya.
Saat diskusi kelas berlangsung, masih ada siswa yang merasa canggung untuk
mengutarakan pendapatnya. Hal ini disebabkan karena selama ini guru mengajar
dengan menggunakan metode ceramah, sehingga siswa tidak terbiasa untuk
melakukan kegiatan diskusi. Suasana kelas saat kegiatan diskusi ribut dan
menganggu siswa lainnya. Saat pembentukan kelompok, kelas menjadi tidak
terkendali sehingga menganggu proses pembelajaran kelas lainnya.
Kendala yang didapat pada siklus I sebagai hasil refleksi yang dilakukan oleh
peneliti, maka dilakukan perbaikan sebagai berikut : memberikan waktu kepada
siswa untuk saling mengenal dengan anggota kelompoknya dengan cara membentuk
kelompok dua hari sebelum PBM berlangsung, sehingga mereka bisa akrab dan
saling mengetahui karakter setiap anggota kelompoknya. Siswa yang tidak
memperhatikan guru saat mengajar atau bermain-main saat guru menerangkan materi
di depan kelas, guru akan memberikan pertanyaan-pertanyaan disela-sela PBM.
Siswa yang ribut saat kegiatan PBM akan diberikan sanksi berupa PR atau salinan
materi diakhir PMB. Suasana ribut dapat dikendalikan dengan cara pembentukan
kelompok dan pengaturan bangku kelompok setelah pulang sekolah, sehingga pada
saat pembelajaran akan dimulai, mereka sudah mengetahui posisi mereka tanpa
saling berebutan. Guru juga memberikan motivasi belajar serta latihan kepada
siswa melalui kegiatan kerja kelompok kepada siswa di luar jam pelajaran,
sehingga siswa yang masih canggung atau ragu mengutarakan ide atau pendapatnya
dapat melakukan kegiatan diskusi dengan baik. Guru juga mengajari kepada mereka
tentang bagaimana cara berdiskusi yang baik dan benar sehingga mereka tidak
egois dalam mempertahankan jawaban yang salah dan mau menerima pendapat orang
lain.
2. Refleksi Siklus II
Refleksi pada siklus II, memperlihatkan adanya peningkatan aktivitas belajar
siswa. Terjadi kerjasama dalam kelompok kerja, mereka tidak lagi cenderung
dalam berdiskusi, siswa sudah mau menerima pendapat orang lain, saat guru
menjelaskan atau saat kegiatan diskusi berlangsung, mereka sudah antusias dalam
mendengarkan, dan suasana ribut di kelas saat kegiatan diskusi berlangsung
sudah dapat diminimalkan. Meskipun demikian semua aktivitas belajar tidak
terlaksana 100% masih ada siswa yang tidak serius saat belajar, tapi jumlahnya
lebih sedikit bila dibandingkan pada siklus I. karena keterbatasan waktu dan
materi pelajaran sudah selesai diajarkan, maka siklus III tidak dilanjutkan.
B. Pembahasan
Hasil analisis data yang telah diuraikan di atas, maka secara deskriptif hasil
penelitian ini mengungkapkan bahwa hasil belajar sains siswa kelas III SD
Negeri 11 Batubassi Kabupaten Maros yang diajar dengan menggunakan metode kerja
kelompok pada siklus I termasuk dalam kategori rendah. Hasil penelitian ini
didukung oleh besarnya presentase siswa yang mendapat nilai pada interval 46 –
55 yaitu 53,57% atau sebanyak 15 orang siswa dari 28 siswa. Nilai rata-rata
kelas yang diperoleh setelah siklus I adalah 55,26.
Secara deskriptif hasil penelitian ini juga mengungkapkan bahwa hasil belajar
sains siswa kelas III SD Negeri 11 Batubassi Kabupaten Maros yang diajar dengan
menggunakan metode diskusi kelompok kecil pada siklus II, termasuk dalam
kategori tinggi. Hasil penelitian ini didukung oleh besarnya persentase siswa
yang mendapat nilai pada interval 66 – 80 yaitu 60,71% atau sebanyak 17 orang
siswa dari 28 siswa. Nilai rata-rata kelas yang diperoleh setelah siklus II
adalah 70,79 yang berada pada interval tinggi. Secara umum dapat dikatakan
bahwa terjadi peningkatan hasil belajar siswa yang belajar dengan menggunakan
metode pembelajaran kelompok kecil.
Hasil analisis data, memperlihatkan adanya perbedaan hasil belajar siswa pada
siklus I dengan siklus II yang diajar dengan menggunakan metode kerja kelompok.
Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang telah dilakukan oleh (Silberman,
2000) yang menyimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas (classroom action
research) dapat meningkatkan hasil belajar siswa, karena adanya pemberian
tindakan terhadap siswa yang memiliki hasil belajar rendah. Selain itu,
penelitian tindakan kelas menuntut guru untuk melakukan perbaikan dalam mengajar,
seperti menyesuaikan metode mengajar dengan kondisi kelas, sehingga hal ini
akan merangsang motivasi belajar siswa dan akan berdampak terhadap hasil
belajar siswa.
Berbicara tentang metode mengajar, metode kerja kelompok adalah sebuah konsep
atau metode yang memiliki strategi pembelajaran (treatment) yang efektif
digunakan untuk menangani individu tertentu sesuai dengan kemampuan peserta
didik. Kerja kelompok merupakan metode yang berisikan sejumlah strategi
pembelajaran yang efektif digunakan untuk menangani siswa tertentu sesuai
dengan karakter serta kemampuan yang dimiliki oleh siswa (Suprayekti, 2004).
Metode kerja kelompok masih jarang digunakan di sekolah, hal ini disebabkan
oleh keterbatasan waktu dan ruang kelas yang tidak memadai untuk menerapkan metode
pembelajaran tersebut. Metode kerja kelompok dimulai dengan mengidentifikasi
setiap siswa berdasarkan tingkat kemampuannya dalam menginterpretasikan maksud
suatu konsep sehingga lebih mudah dipahami. Dalam kegiatan ini, guru akan
mengelompokkan siswa menjadi kelompok-kelompok tertentu yang bertugas untuk
mendiskusikan konsep-konsep yang diberikan dengan anggota kelompok dengan
kapasitas anggota yang lebih sedikit, sehingga jalannya kegiatan diskusi
terarah dan terfokus pada materi yang dibahas, sedangkan guru bertindak sebagai
fasilitator jalannya kegiatan diskusi.
Metode pembelajaran ini cocok untuk diterapkan di sekolah untuk memperbaiki
mutu siswa dan meningkatkan kualitas belajar siswa, metode kerja kelompok untuk
diterapkan, sebab guru dapat mengetahui siswa yang memiliki kemampuan kurang
dan dapat dengan cepat memberikan tindakan terhadap siswa yang dianggap
kesulitan dalam belajar. Hasil penelitian yang telah dilakukan di SD Negeri 11
Batubassi Kabupaten Maros, memberikan gambaran bahwa terjadi peningkatan hasil
belajar siswa yang diajar dengan menggunakan metode kerja kelompok. Jika
dilihat dari siklus I ke siklus II terlihat adanya peningkatan hasil belajar
siswa yang signifikan, yaitu pada siklus I rata-rata siswa mendapat nilai pada
kategori rendah, sedangkan pada siklus II rata-rata siswa mendapat nilai pada
kategori tinggi. Rendahnya nilai yang diperoleh siswa pada siklus I
dimungkinkan oleh situasi belajar yang dianggap masih baru oleh siswa, dalam
hal ini adalah metode mengajar yang belum maksimal diterapkan oleh guru,
sehingga siswa kurang berkonsentrasi terhadap pelajaran. Setelah siklus II,
siswa mulai kenal dan akrab dengan metode serta adanya hasil refleksi pada
siklus I, memberikan kesempatan kepada guru untuk melakukan perbaikan langkah-langkah
PBM, selain itu kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh guru pada siklus I
sedapat mungkin diperbaiki pada siklus II dan siswa sudah berkonsentrasi dengan
materi pelajaran sehingga hal ini akan memberikan pengaruh terhadap hasil
belajar siswa.
Melalui penerapan metode kerja kelompok, aktivitas belajar siswa di kelas
memperlihatkan kecenderungan meningkat. Kelompok yang telah dibentuk di awal
pembelajaran akan memiliki kemampuan dan keberanian untuk tampil di depan
kelas, sehingga secara tidak langsung metode ini akan melatih keterampilan
berbicara siswa. Pada hakekatnya metode ini akan merangsang motivasi dan minat
belajar siswa, sehingga hal tersebut mendorong siswa untuk aktif mencari materi
pelajaran melalui buku, majalah, media lainnya di perpustakaan dan melalui
kegiatan diskusi kelompok. Pada siswa yang berkemampuan sedang, timbul rasa
percaya diri yang tinggi dalam belajar, karena selama ini mereka selalu berada
dalam bayang-bayang rasa takut salah dan ditertawakan oleh siswa yang pandai dalam
menyatakan pendapat. Demikian pula siswa dengan kemampuan rendah, di samping
telah lepas dari dominasi siswa yang cerdas, mereka juga telah memiliki percaya
diri yang cukup kuat dan termotivasi belajar lebih giat, karena kelompok ini
ditangani dengan special treatment yaitu melalui re-teaching-tutorial yang
senantiasa diberi dorongan secara terus menerus dan diperhatikan kebutuhan
serta kesanggupannya dalam belajar (Suprayekti, 2004).
Belajar dengan menggunakan metode kerja kelompok akan memberikan kesempatan
kepada siswa untuk saling melakukan komunikasi dengan teman-temannya, dengan
tujuan untuk menyatukan pendapat. Hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan
merupakan penyatuan dari beberapa orang siswa, sehingga jawaban yang diperoleh
lebih akurat. Saat melakukan kerja kelompok, setiap siswa harus bertanggung
jawab terhadap kelompoknya, dengan demikian akan memunculkan motivasi belajar
siswa untuk belajar dengan sungguh-sungguh, dengan tujuan agar kerja kelompok
mereka mendapat nilai maksimal. Adanya kegiatan kerja kelompok akan menguatkan
ikatan sosial antar siswa, sehingga tidak ada lagi kesenjangan sosial di antara
siswa, dan akan mendukung pencapaian hasil belajar siswa.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa ada
peningkatan hasil belajar dan aktivitas belajar siswa yang diajar dengan
menggunakan metode kerja kelompok di SD Negeri 11 Batubassi Kabupaten Maros.
B. Saran
Sehubungan dengan kesimpulan hasil penelitian di atas, maka saran yang dapat
dikemukakan oleh peneliti adalah :
1. Untuk meningkatkan pemahaman materi siswa akan materi yang diajarkan,
sebaiknya dalam mengajar guru harus menggunakan metode kerja kelompok, agar
hasil belajar yang diperoleh siswa dapat meningkat.
2. Diharapkan kepada guru yang akan menerapkan metode kerja kelompok dalam PBM,
harus mempertimbangkan tingkat kemampuan siswa dalam penyebaran anggota
kelompok.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Analisis Deskriptif hasil belajar sains pada Siklus I
Data hasil belajar sains siswa pada Siklus I diperoleh melalui pemberian tes
hasil belajar sains setelah menyelesaikan pokok bahasan sains sub pokok
mengidentifikasikan ciri-ciri makhluk berdasarkan hasil pengamatan langsung di
sekitar lingkungan sekolah. . Adapun deskriptif skor hasil belajar matematika
siswa pada Siklus I dapat dilihat pada tabel 4.1 sebagai berikut.
Tabel 4.1 Statistik Skor Hasil Belajar Sains Siswa pada Siklus I
Statistik Nilai Statistik
Subjek Penelitian 28
Skor maksimum ideal 100
Rata-rata 55.2607
Standar Deviasi 9,928
Median 54,736
Skor Tertinggi 80
Skor Terendah 33.30
Rentang Skor 46,70
Berdasarkan tabel 4.1 diperoleh bahwa rata-rata
skor hasil belajar sains siswa kelas III SD Negeri 11 Batubassi Kabupaten Maros
setelah pemberian tindakan pada Siklus I adalah 55,26 dari skor ideal yang
mungkin dicapai yaitu 100, skor tertinggi 80 dan skor terendah 33,30 dengan
standar deviasi 9,928.
Apabila skor hasil belajar matematika siswa tersebut dikelompokkan ke dalam
5 kategori sesuai dengan klasifikasi yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan
dan
Kebudayaan, maka diperoleh distribusi frekuensi dan persentase skor hasil
belajar matematika siswa pada Siklus I, sebagai berikut.
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi dan Persentase Skor Hasil Belajar Matematika
Siswa pada Siklus I
Skor Kategori Frekuensi Persentase
0-34 Sangat rendah 0 0
35 – 54 Rendah 9 20
55 – 64 Sedang 6 13,33
65 – 84 Tinggi 16 35,56
85 – 100 Sangat Tinggi 14 31,11
Berdasarkan tabel 4.2 diperoleh bahwa dari 45
siswa ke1as VII.2 SMP Negeri 2 Bulukumba, terdapat sebanyak 0% yang hasil
belajarnya masuk dalam kategori sangat rendah, 20% yang masuk dalam kategori
rendah, 13,33% yang masuk dalam kategori sedang, 35,56% yang masuk dalam
kategori tinggi dan 31,11% yang masuk dalam kategori sangat tinggi.
Berdasarkan skor hasil belajar matematika siswa
juga diperoleh bahwa serap siswa terhadap materi rata-rata mencapai 72,80% dari
daya serap 100% yang mungkin dicapai. Sedangkan ketuntasan belajar siswa dapat
dilihat berdasarkan daya serap siswa. Apabila daya serap siswa terhadap materi
tersebut dikelompokkan ke dalam kategori tuntas dan tidak tuntas, maka
diperoleh distribusi frekuensi dan persentase ketuntasan belajar matematika
pada Siklus I sebagai berikut.
Tabe1 4.3 Distribusi Frekuensi dan Persentase Ketuntasan Belajar Matematika
Siswa pada Siklus I
Daya Serap Siswa Kategori Ketuntasan Belajar
Frekuensi Persentase (%)
0% – 64,99% Tidak tuntas 15 33,33
65% -100 % Tuntas 30 66,67
Berdasarkan tabel 4.3 diperoleh bahwa dari 45
siswa kelas VII2 SMP Negeri 2 Bulukumba, setelah pemberian tindakan pada Siklus
I sebanyak 15 siswa masuk dalam kategori tidak tuntas dan sebanyak 30 orang
masuk dalam kategori tuntas. Sedangkan ketuntasan belajar secara klasikal
sebesar 66,67%.
Berdasarkan tabel 4.1, tabel 4.2 dan tabel 4.3, diketahui pula bahwa tingkat
kemampuan dan hasil belajar matematika siswa kelas VI SMP Negeri 2 Bulukumba
setelah pemberian tindakan pada Siklus I secara rata-rata berada pada kategori
tinggi meskipun bukan tuntas secara klasikal.
2. Deskripsi Hasil Belajar setelah Pemberian
Tindakan pada Siklus II
Data hasil belajar matematika siswa pada Siklus II diperoleh melalui pemberian
tes hasil belajar matematika setelah menyelesaikan pokok bahasan pecahan sub
pokok bahasan operasi hitung pada pecahan. Adapun deskriptif skor hasil belajar
matematika siswa pada Siklus II dapat dilihat pada tabel 4.4 sebagai berikut.
Tabel 4.4 Statistik Skor Hasil Belajar Matematika Siswa pada Siklus II
Statistik Nilai Statistik
Subjek Penelitian 45
Skor maksimum ideal 100
Rata-rata 80,58
Standar Deviasi 12,53
Median 81,80
Skor Tertinggi 100
Skor Terendah 51
Rentang Skor 49
Berdasarkan tabe1 4.4 diperoleh bahwa rata-rata
skor hasil belajar matematika siswa setelah pemberian tindakan pada Siklus II
adalah 80,58 dari skor ideal yang mungkin dicapai yaitu 100. Skor tertinggi 100
dan skor terendah 51 dengan standar deviasi 12,53.
Apabila skor hasil belajar matematika siswa tersebut dikelompokkan ke dalam 5
kategori sesuai dengan klasifikasi yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, maka diperoleh distribusi frekuensi dan persentase skor hasil
belajar matematika siswa pada Siklus II, sebagai berikut.
Tabe1 4.5 Distribusi Frekuensi dan Persentase Skor
Hasil Belajar
Matematika Siswa pada Siklus II
Skor Kategori Frekuensi Persentase
0-34 Sangat rendah 0 0
35 – 54 Rendah 1 2,22
55 – 64 Sedang 6 13,33
65 – 84 Tinggi 22 48,89
85 – 100 Sangat Tinggi 16 35,56
Berdasarkan tabe1 4.5 diperoleh bahwa dari 45
siswa kelas VIL2 SMP Negeri 2 Bulukumba, terdapat sebanyak 0% yang hasil
belajamya masuk dalam kategori sangat rendah, 2,22% yang masuk dalam kategori
rendah, 13,33% yang masuk dalam kategori sedang, 48,89% yang masuk dalam
kategori tinggi dan 35,56% yang masuk dalam kategori sangat tinggi.
Berdasarkan skor hasil belajar matematika siswa juga diperoleh bahwa daya serap
siswa terhadap materi rata-rata mencapai 80,58% dari daya serap 100% yang
mungkin dicapai. Sedangkan ketuntasan belajar siswa dapat dilihat berdasarkan
daya serap siswa. Apabila daya serap siswa terhadap materi tersebut
dikelompokkan ke dalam kategbri tuntas dan tidak tuntas, maka diperoleh
distribusi frekuensi dan persentase ketuntasan belajar matematika pada Siklus
II sebagai berikut.
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi dan Persentase
Ketuntasan Belajar
Siswa pada Siklus II
Daya Serap Siswa Kategori Ketuntasan Belajar
KetunKetuntKetuntasan Frekuensi Persentase (%)
0% – 64,99% Tidak tuntas 7 15,55
65% -100 % Tuntas 38 84,45
Berdasarkan tabel 4.6 diperoleh bahwa dari 45
siswa kelas VII2 SMP Negeri 2 Bulukumba, setelah pemberian tindakan pada Siklus
II sebanyak 7 orang masuk dalam kategori tidak tuntas dan sebanyak 38 siswa
masuk dalam kategori tuntas. Sedangkan ketuntasan belajar secara klasikal
sebesar 84,45%.
Berdasarkan tabel 4.4, tabel 4.5 dan tabel 4.6 di atas, diketahui pula bahwa
tingkat kemampuan dan hasil belajar matematika siswa kelas VII.2 SMP Negeri 2
Bulukumba setelah pemberian tindakan pada Siklus II secara rata-rata berada
pada kategori tinggi meskipun belum tuntas secara klasikal.
3. Deskripsi Sikap Siswa dalam Proses Pembelajaran pad a Siklus I
Data sikap siswa pada Siklus I diperoleh melalui observasi siswa selama proses
pembelajaran di setiap pertemuan. Adapun deskripsi sikap siswa pada Siklus I
dapat dilihat pada tabe14.7 sebagai berikut.
Tabe1 4.7 Distribusi Frekuensi Observasi Aktivitas
Siswa pada Siklus I
Kriteria Penilaian Pertemuan ke- Rata- Persentase
1 2 3 4 rata (%)
Kehadiran 43 42 44 43 43 95,56
Menanggapi pertanyaan guru 17 21 22 24 21 46,67
Menanggapi pertanyaan ternan 8 7 11 10 9 20
Mengajukan Pertanyaan 10 9 11 13 10,75 23,89
Masih rnernerlukan birnbingan 23 17 18 14 18 40
Mernbuat kesirnpulan 6 4 3 6 4.75 10,56
Mengurnpulkan tugas 29 31 30 34 31 68,89
Berdasarkan tabel 4.7 diperoleh bahwa dari 45 siswa
kelas VII.2 SMP Negeri 2 Bulukumba, kehadiran siswa rata-rata mencapai 95,56%,
siswa yang memberikan tanggapan atas pertanyaan guru rata-rata mencapai 46,67%,
siswa yang memberi tanggapan atas pertanyaan teman rata-rata mencapai 20%,
siswa yang mengajukan pertanyaan rata-rata rnencapai 23,89%, siswa yang masih
rnemerlukan bimbingan rata-rata mencapai 40%, siswa yang dapat menarik
kesimpulan rata-rata mencapai 10,56% dan siswa yang mengumpulkan tugas
rata-rata mencapai 68,89%.
4. Deskripsi Sikap Siswa dalam Proses Pembelajaran pada Siklus II
Data sikap siswa pada Siklus I diperoleh melalui observasi aktivitas siswa
selama proses pembelajaran di setiap pertemuan. Adapun deskripsi aktivitas
siswa pada Siklus II dapat dilihat pada tabel 4.8 sebagai berikut.
Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi dan Persentase
Observasi aktivitas Siswa
pada Siklus II
I Kriteria Penilaian I Pertemuan ke- Rata-
Persentase
1 2 3 4 rata (%)
Kehadiran 44 45 43 45 44,25 98,33
~enanggapipertanyaanguru 27 24 29 31 27,75 61,67
~enanggapi-pertanyaan ternan 8 . 11 17 15 12,75 28,33
~engajukan Pertanyaan 12 10 13 15 12,5 27,78
~asih memerlukan bimbingan 20 16 13 14 15,75 35
~embuat kesimpulan 11 14 17 16 14,5 32,22
~engumpulkan tugas 40 43 43 45 42,75 95
Berdasarkan tabel 4.8 diperoleh bahwa dari 45
siswa kelas VII2 SMP Negeri 2 Bulukumba, setelah pemberian tindakan pada Siklus
II kehadiran siswa rata-rata mencapai 98,33%, siswa yang memberikan tanggapan
atas pertanyaan guru rata-rata mencapai 61,67%, siswa yang memberi tanggapan
atas pertanyaan ternan rata-rata mencapai 28,33%, siswa yang mengajukan
pertanyaan rata-rata mencapai 27,78%, siswa yang masih memerlukan bimbingan
rata-rata mencapai 40%, siswa yang dapat menarik kesimpulan rata-rata mencapai
32,22%, dan siswa yang mengumpulkan tugas rata-rata mencapai 95%.
B. Refleksi
1. Refleksi Siklus I
Pertemuan pertama pada Siklus I penelitian tindakan ini, pembahasan dimulai
dengan memperkenalkan bentuk-bentuk bangun segiempat. Proses pembelajaran
dirancang dengan menggunakan LKS dan alat peraga sebagai media pembelajaran.
Pada pertemuan pertama tersebut umumnya siswa telah menunjukkan antusias
belajar yang positif, keberanian bertanya, menanggapi pertanyaan dan semangat
mengerjakan LKS membuat suasana pembelajaran menjadi gaduh dan tidak
terkendali, guru lebih banyak membimbing siswa dari kelompok ke kelompok.
Secara umum tampak bahwa tujuan pembelajaran pada pertemuan pertama dapat
tercapai. Hal ini mungkin disebabkan siswa telah mengenal berbagai bentuk bangun
segiempat sehingga umumnya siswa dapat mengerjakan LKS (1) dan tugas dengan
baik. Selain itu pembelajaran dengan penemuan terbimbing yang dibentuk oleh
guru, membuat siswa dapat saling bekerja sama. Menyikapi proses pembelajaran
pada pertemuan pertama Siklus I terse but, bentuk retleksi lebih ditekankan
pada bagaimana merancang pengelolaan kelas yang lebih baik untuk pertemuan
berikutnya.
Proses pembelajaran pada pertemuan kedua, membahas pengertian dan sifat persegi
panjang. Proses pembelajaran ini dikendalikan oleh guru matematika dan
dirancang dengan penemuan terbimbing. Menyadari kekurangan pada pertemuan
pertama tampak bahwa guru berusaha mengelola kelas dengan membimbing siswa
secara kelompok dan klasikal. Siswa pun tetap menunjukkan antusias belajarnya
dan suasana kelas lebih terkendali. Namun secara umum siswa mengalami kesulitan
dalam membuat kesimpulan materi, mengerjakan LKS (2) dan mengerjakan tugas. Hal
ini mungkin disebabkan materi pembelajaran lebih sulit daripada pertemuan
sebelumnya. Akibatnya hanya sebahagian kecil siswa yang mampu membuat
kesimpulan materi. Akan tetapi melalui pembelajaran dengan penemuan terbimbing,
siswa dapat bekerjasama mengerjakan LKS (2). Menyikapi proses pembelajaran pada
pertemuan kedua tersebut, bentuk refleksi lebih ditekankan pada penyampaian
tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa untuk bergiat melakukan penemuan.
Proses pembelajaran pada pertemuan ketiga, membahas materi pengertian dan
sifat-sifat persegi. Proses pembelajaran ini dikendalikan oleh peneliti. Walaupun
kekurangan-kekurangan sebelumnya dapat teratasi, akhimya ditemukan kekurangan
bahwa sebahagian besar siswa sulit dalam komunikasi dan verbalisasi. Untuk itu
siswa masih perlu banyak dibimbing secara individu. Akan tetapi dengan motif
pengeIjaan LKS (3) yang sarna seperti LKS (2), secara umum siswa mampu
mengeIjakan LKS dan tugasnya. Menyikapi kekurangan pada pertemuan ketiga terse
but, bentuk refleksi lebih ditekankan pada pemberian bimbingan secara
perorangan pada pertemuan berikutnya.
Proses pembelajaran pada pertemuan keempat, membahas materi keliling dan luas
persegipanjng dan persegi. Proses pembelajaran dikendalikan oleh guru
matematika sebagai peneliti dengan penemuan terbimbing. Menyadari kekurangan
sebelumnya tampak bahwa guru berusaha membimbing setiap siswa dalam
masing¬masing kelompok secara lebih baik. Siswa pun lebih menunjukkan antusias
belajar jika proses pembelajaran dilaksanakan dengan penemuan terbimbing. Namun
sangat sulit mendeteksi siswa yang benar-benar telah dapat menyimpulkan dan
yang masih perlu dibimbing. Menyikapi proses pembelajaran pada pertemuan
keempat tersebut, bentuk refleksi lebih ditekankan pada pemberian bimbingan
secara perorangan.
Tes hasil belajar matematika pada Siklus I menunjukkan bahwa rata-rata skor
hasil belajar siswa berada pada kategori sedang. Menyikapi hal tersebut dan
dengan mengamati berbagai kekurangan dan kemajuan siswa selama Siklus I, tampak
bahwa hambatan utama siswa belajar dengan metode penemuan terbimbing adalah
pemahaman konsep sangat kurang dan materi penunjang untuk mempelajari bangun
segiempat tidak diketahui oleh siswa, masalah komunikasi dan verbalisasi,
sehingga umumnya siswa merasa sui it dalam menyelesaikan tes hasil belajar dan
menginterpretasikan maksud soal. Skor siswa rendah banyak disebabkan karena
tidak mampu menuliskan prosedur penyelesaian soal, apa yang diketahui dan apa
yang ditanyakan. Oleh karena itu, bentuk refleksi akan ditekankan pada
bimbingan mengingat materi penunjang dan membimbing siswa menemukan.
2. Refleksi Siklus II
Proses pembelajaran pada pertemuan pertama Siklus II, membahas materi
pengertian, sifat-sifat dan luas daerah belahketupat. Proses pembelajaran
dikendalikan oleh guru sebagai peneliti. Guru berusaha memberikan motivasi dan
umpan balik terhadap hasil refleksi pada Siklus I, dan menunjukkan bahwa guru
sebagai fasilitator dan bukan satu-satunya sumber belajar bagi siswa, sehingga
harus lebih banyak bertanya mengantarkan siswa untuk dapat menemukan sendiri
pengetahuannya, mampu mengerjakan LKS dan tligas dengan pemikirannya sendiri.
Namun untuk membimbingsetiap siswa dengan kemampuan yang heterogen dan
tergolong rendah ini, proses pembelajaran membutuhkan ban yak waktu. Untuk itu,
bentuk refleksi lebih ditekankan pada pengelolaan waktu agar proses pembelajaran
selesai tepat pada waktunya dan tujuan pembelajaran tercapai.
Proses pembelajaran pada pertemuan kedua Siklus II, membahas materi pengertian,
sifat-sifat dan luas daerah layang-layang. Proses pembelajaran dikendalikan
oleh guru matematika sebagai peneliti. Dengan motif mengerjakan LKS dan yang
sarna pada pertemuan sebelumnya, siswa merasa lebih mudah menemukan dan mampu
menyelesaikan LKS serta tugasnya, sehingga masalah pengelolaan waktu pun dapat
teratasi. Pada pertemuan ini bentuk refleksi lebih ditekankan pada memberikan
bimbingan lebih banyak untuk siswa dengan kemampuan rendah sedangkan siswa yang
sudah cukup kemarnpuannya dibiarkan menemukan sendiri.
Proses pembelajaran pada pertemuan ketiga Siklus II, membahas materi
pengertian, sifat-sifat dan luas daerah trapesium. Proses pembelajaran
dikendalikan oleh guru matematika sebagai peneliti. Sarna halnya pada pertemuan
kedua Siklus II, pada pertemuan ini bentuk refleksi lebih ditekankan pada
memberikan bimbingan lebih banyak untuk siswa dengan kemampuan rendah sedangkan
siswa yang sudah cukup kemarnpuannya akan dibiarkan menemukan sendiri. Bentuk
refleksi akan ditekankan pada penguasaan materi, konsep dan materi pendukung.
Proses pembelajaran pada pertemuan keempat Siklus II, membahas materi penerapan
bangun segiempat dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajaran dipandu oleh
guru sebagai peneliti. Tampak bahwa pada umumnya siswa sulit menuliskan
prosedur penyelesaian soal.
Tes hasil belajar matematika pada Siklus II menunjukkan bahwa rata-rata skor
hasil belajar siswa berada pada kategori tinggi. Menyikapi hal tersebut dan
dengan mengamati berbagai kekurangan dan kemajuan siswa selama Siklus II tampak
bahwa sebahagian besar hambatan pada Siklus I dapat diatasi meskipun masih
terjadi pada Siklus II. Umumnya siswa telah mampu menuliskan prosedur
penyelesaian soal, apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan sehingga skor
hasil belajar matematika siswa
kelas VII.2 SMP Negeri 2 Bulukumba pada Siklus II ini umumnya meningkat.
3. Hasil Tanggapan Siswa Setelah Pemberian Tindakan pada Proses Pembelajaran
Berdasarkan analisis tanggapan siswa tentang
pelajaran matematika diperoleh bahwa pada dasarnya semua siswa menyukai
pelajaran matematika. Bahkan 2 siswa mengaku menyukai pelajaran matematika
sejak SD. Menambahkan tanggapan mereka, 5 siswa menyukai pelajaran matematika
karena gurunya, 4 siswa menyukai pelajaran matematika dengan alas an pelajaran
matematika gampang dan mudah dimengerti, 9 siswa menyukai pelajaran matematika
dengan alasan pelajaran matematika gampang-gampang susah dan 12 siswa menyukai
pelajaran matematika engan alasan pelajaran matematika sebagai ilmu yang
bermanfaat dalam kehidupan sehingga sangat penting untuk dipelajari.
Berdasarkan tanggapan-tanggapan siswa diperoleh gambaran bahwa sikap dan
kemampuan guru mengajar sangat mempengaruhi pendapat siswa tentang pelajaran
matematika, sulit atau mudah. Sebanyak 2 siswa yang berpendapat bahwa menyukai
Tes hasil belajar matematika pada Siklus II menunjukkan bahwa rata-rata skor
hasil belajar siswa berada pada kategori tinggi. Menyikapi hal tersebut dan
dengan mengamati berbagai kekurangan dan kemajuan siswa selama Siklus II tampak
bahwa sebahagian besar hambatan pada Siklus I dapat diatasi meskipun masih
terjadi pada Siklus II. Umumnya siswa telah mampu menuliskan prosedur
penyelesaian soal, apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan sehingga skor
hasil belajar matematika siswa kelas VII2 SMP Negeri 2 Bulukumba pada Siklus II
ini umumnya meningkat.
Hasil Tanggapan Siswa Setelah Pemberian Tindakan pada Proses Pembelajaran.
Berdasarkan analisis tanggapan siswa tentang pelajaran matematika diperoleh
bahwa pada dasamya semua siswa menyukai pelajaran matematika. Bahkan 2 siswa
mengaku menyukai pelajaran matematika sejak SD. Menambahkan tanggapan mereka,5
siswa menyukai pelajaran matematika karena gurunya, 4 siswa menyukai pelajaran
matematika dengan alasan pelajaran matematika gampang dan mudah dimengerti, 9
siswa menyukai pelajaran matematika dengan alasan pelajaran matematika
gampang-gampang susah dan 12 siswa menyukai pelajaran matematika dengan alasan
pelajaran matematika sebagai ilmu yang bermanfaat dalam kehidupan sehingga
sangat penting untuk dipelajari.
Berdasarkan tanggapan-tanggapan siswa diperoleh gambaran bahwa sikap dan
kemampuan guru mengajar sangat mempengaruhi pendapat siswa tentang pelajaran
matematika, sulit atau mudah. Sebanyak 2 siswa yang berpendapat bahwa menyukai
pelajaran matematika karena gurunya baik dan mampu menjelaskan sehingg
pelajaran matematika yang dirasakan sangat sulit menjadi mudah dimengerti, 5
dari 9 siswa yang berpendapat bahwa pelajaran matematika gampang-gampang susah,
menyukai pelajaran matematika karena mereka mudah memahami penjelasan guru.
Berdasarkan analisis tanggapan siswa tentang pembelajaran matematika melalui
metode penemuan terbimbing diperoleh bahwa dari 45 siswa kelas VII2 SMP Negeri
2 – Bulukumba, 25 siswa menyukai metode penemuan terbimbing, 3 siswa
berpendapat metode penemuan terbimbing gampang-gampang susah, 4 siswa tidak
menyukai metode penemuan terbimbing dan 1 siswa tidak tahu pembelajaran dengan
metode penemuan terbimbing. Menambah tanggapan siswa, 25 siswa yang menyukai
metode penemuan terbimbing umumnya mengemukakan alasan bahwa dengan metode
penemuan terbimbing, siswa dapat belajar menemukan sendiri pengetahuan dan
rumus matematika. Siswa merasa senang belajar dengan menggunakan LKS dan
dibimbing oleh guru, meskipun beberapa siswa berpendapat bahwa mengeIjakan LKS
gampang-gampang susah, siswa dapat bertanya baik kepada guru atau kepada teman.
Siswa yang berpendapat bahwa pembelajaran matematika dengan metode penemuan
terbimbing gampang-gampang susah dan yang tidak menyukai metode penemuan
terbimbing beralasan bahwa mereka sulit menemukan sendiri tanpa dibimbing oleh
guru.
Berdasarkan analisis tanggapan siswa tentang manfaat yang diperoleh selama
pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing, umumnya perpendapat banyak
memperoleh manfaat. Melalui metode penemuan terbimbing siswa mengetahui cara
memperoleh rumus matematika serta dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
belajar. Siswa pun dapat mengerti materi sehingga mampu mengerjakan soal dan
mudah mengingat kembali pelajaran yang telah lalu.
C. Pembahasan Hasil Penelitian
Peningkatan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VII.2 SMP Negeri 2 Bulukumba.
Berdasarkan analisis deskriptif hasil belajar matematika siswa kelas VII.2
SMP Negeri 2 Bulukumba, diperoleh bahwa rata-rata skor hasil belajar siswa pada
Siklus I adalah 72,80 sedangkan rata-rata skor hasil belajar siswa pada Siklus
II adalah 80,58 dan skor ideal yang mungkin dicapai yaitu 100. Ini menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan rata-rata skor sebesar 7,78 sehingga secara
kuantitatif diperoleh bahwa telah terjadi peningkatan hasil belajar matematika
siswa VII.2 SMP Negeri 2 Bulukumba setelah penerapan metode penemuan terbimbing
pada proses pembelajaran pokok bahasan bangun segiempat dari kategori sedang
menjadi kategori
tinggi.
Pada Siklus II tampak bahwa setiap siswa mengalami peningkatan skor hasil
belajar matematika. Hal ini disebabkan antara lain pada Siklus II siswa telah
mampu menyelesaikan soal sesuai prosedur yang diharapkan sehingga umumnya siswa
dapat memperoleh skor pada setiap butir soal. Sehingga jika dikategorikan, pada
Siklus I dari 45 siswa sebanyak 20% siswa berada pada kategori rendah sedangkan
pada Siklus II sebanyak 35,56% skor hasil belajar siswa berada pada kategori
sangat tinggi yang berarti terjadi perbedaan dengan kategori hasil belajar
sacara rata-rata. Hal dapat disebabkan ada beberapa siswa yang memang memiliki
kemampuan rendah, tidak dapat menemukan sendiri.
2. Perubahan Sikap dan Aktivitas Siswa Kelas VII.2 SMP Negeri 2 Bulukumba
Berdasarkan analisis deskriptif aktivitas siswa kelas VII.2 SMP Negeri 2
Bulukumba, diperoleh bahwa terjadi peningkatan aktivitas siswa. Jika dibandingkan
hasil observasi Siklus I dan Siklus II, persentase rata-rata kehadiran siswa
meningkat dari 95,56% menjadi 98,33%. Persentase rata-rata jumlah siswa yang
memberikan tanggapan terhadap pertanyaan guru meningkat dari 46,67% menjadi
61,67%. Persentase rata-rata jumlah siswa yang memberikan tanggapan terhadap
pertanyaan teman meningkat dari 20% menjadi 28,33%. Persentase rata-rata jumlah
siswa yang mengajukan pertanyaan meningkat dari 23,89% menjadi 27,78%.
Persentase rata-rata jutnlah siswa yang masih memerlukan bimbingan menurun
clari 40% menjadi 35%. Persentase rata-rata jumlah siswa yang dapat membuat
kesimpulan rneningkat dari 10,56% mel1jadi 32,22%. Persentase rata-rata jumlah
siswa yang mengumpulkal1 tugas meningkat dari 68,89% menjadi 95%.
Terjadinya peningkatan persentase aktivitas siswa, kehadiran siswa mengikuti
proses belajar mengajar dan jumlah siswa yang mengumpulkan tugas menunjukkan
bahwa siswa memiliki perhatian yang besar dalam belajar matematika, khususnya
dalam penelitian ini. Peningkatan jumlah siswa yang menanggapi pertanyaan guru
atau teman dan yang mengajukan pertanyaan menunjukkan antusias sikap positif
siswa dalam proses pembelajaran matematika dengan metode penemuan terbimbing.
Peningkatan jumlah siswa yang mengajukan pertanyaan dapat diinterpretasikan
bahwa sebahagian besar siswa merasa sulit mengerjakan LKS dan tugas, namun ini
juga menunjukkan keinginan mereka untuk berani mengajukan pertanyaan dan
memecahkan persoalan mereka yang patut dihargai. Selain perubahan aktivitas
siswa yang menunjukkan peningkatan, juga teIjadi perubahan yang menunjukkan
penurunan. Jumlah siswa yang masih memerlukan bimbingan berkurang menunjukkan
bahwa akhirnya siswa mampu mengerjakan LKS tanpa dibimbing oleh guru. Hal ini
dapat teIjadi karena motif mengerjakan LKS yang hampir sarana pada setiap
pertemuan dan karena siswa telah terbiasa dengan metode penemuan terbimbing
yang sengaja di rancang dengan aktivitas yang monoton. Sedangkan jumlah siswa
yang dapat menyimpulkan materi berkurang, mungkin disebabkan tingkat kesulitan
materi pada setiap pertemuan yang semakin meningkat, Peneliti menyadari untuk
menumbuhkan minat siswa bergiat menemukan sendiri bukan hal yang mudah, apalagi
dengan kemampuan siswa yang masih terbatas baik dalam hal pengetahuan matematika
maupun dalam hal perkembangan eara berpikir siswa. Namun yang terpenting adalah
membelajarkan siswa antusias, keberanian mengungkapkan kreatifitas, ide dan
pemikiran, serta menumbuhkan minat belajar matematika adalah yang paling
penting.
BABV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut.
1. Secara kuantitatif dan secara kualitatif hasil belajar matematika siswa
kelas VII.2 SMP Negeri 2 Bulukumba melalui pembelajaran pokok bahasan pecahan
dengan metade penemuan terbimbing mengalami peningkatan.
2. Skor rata-rata hasil belajar matematika siswa kelas VII2 SMP Negeri 2
Bulukumba setelah pemberian tindakan pada siklus I adalah 72,80 dari skor ideal
100 yang mungkin dicapai dengan standar deviasi 16,58 dan berada pada kategari
tinggi. Sedangkan skor rata-rata hasil belajar matematika siswa setelah
pemberian tindakan pada siklus II adalah 80,58 dari skala ideal 100 yang
mungkin dicapai dengan standar deviasi 12,53 dan berada pada kategori tinggi.
3. Daya serap siswa ke1as VII2 SMP Negeri 2 Bulukumba setelah pemberian
tindakan pada siklus I adalah 72,80% dari daya serap ideal 100% yang mungkin
dicapai sedangkan daya serap siswa setelah pemberian tindakan pada siklus II
adalah 80,58% dari daya serap ideal 100% yang mungkin dicapai. Ketuntasan
belajar matematika siswa kelas VII.2 SMP Negeri 2 Bulukumba juga meningkat.
Pada siklus I, dari 45 siswa sebanyak 30 siswa dinyatakan tuntas belajar dengan
ketuntasan klasikal sebesar 66,67%. Sedangkan pada siklus II, sebanyak 38 siswa
dinyatakan tuntas belajar dengan ketuntasan klasikal sebesar 84,45%.
4. Perubahan sikap siswa dan aktivitas siswa kelas VII2 SMP Negeri 2 Bulukumba
melalui pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing mengalarni peningkatan.
B. Saran
Untuk memaksimalkan pembelajaran matematika dan hasil belajar siswa, maka
peneliti mengemukakan saran-saran sebagai berikut.
1. Pembelajaran matematika dengan metode penemuan terbimbing perlu diterapkan
dan dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif metode pembelajaran
matematika, agar siswa dapat mengalami proses belajar bermakna, mampu menemukan
sendiri pengetahuan matematikanya.
2. Untuk melaksanakan pembelajaran matematika dengan metode penernuan
terbimbing, siswa perlu banyak diberi motivasi dan penguatan agar bergiat
rnelakukan penemuan.
Untuk melaksanakan pembelajaran matematika dengan metode penemuan terbimbing,
siswa perlu menguasai materi penunjang pokok bahasan yang akan diajarkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman, 1993. Pengelolaan Pengajaran. Ujung
Pandang: PT. bintang Selatan.
Antonius. 2004. Petunjuk Praktis Menyusun Karya
Tulis Ilmiah. Bandung: CV. Irama Widya.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Depdikbud. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka
Djamarah, Syaiful Bahri. 2006. Strategi Belajar
Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta
Drost, S. J. 1998. Pendidikan Sains yang Humainis.
Yogyakarta: Kanisius.
Khaeruddin & Martawijaya A.M. 2005.
Peningkatan Hasil Belajar Proses Fisika. (Jurnal Sains dan Pendidikan fisika,
Vol. 2 No. 2 Oktober 2005).
Nur, M. 2002. Buku Panduan Keterampilan Proses dan
Hakikat Sains. Surabaya: University Press, UNESA.
Riyanto, Y. 2001. Metodologi Penelitian
Pendidikan. Surabaya: Penerbit SIC Surabaya.
Silberman. 2000. Activity Learning (101 Strategi
to teach Any Subject. Yapenddis United States of Amerika.
Suprayekti. 2004. Interaksi Belajar Mengajar.
Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah Direktorat Tenaga Kependidikan. Jakarta.
Suryosubroto. 1988. Dasar-dasar Psikologi untuk
Pendidikan di Sekolah. Jakarta: PT. Prima Karya.
Winkel, W.S. 1996. Psikologi Pengajaran. Jakarta:
PT. Gramedia.
Winarno Surachmat, 1985. Interaksi Belajar
Mengajar. Jakarta: Praphanta.